Maraknya tindakan radikalisme dan terorisme yang terjadi di Tanah Air, berawal dari persepsi yang keliru tentang makna jihad dan ajaran agama. Seolah-olah jihad identik dengan perang melawan musuh. Pemahaman yang sempit seperti ini akan membawa dampak yang besar terhadap perilaku keagamaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang yang memahami agama secara sepenggal itu, cenderung menganggap orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya adalah salah. Ia mengaggap, seolah-olah agama membenarkan adanya tindak kekerasan sebagai upaya mengajak orang lain agar sepaham dan sependapat dengan dirinya.
Padahal agama, khususnya Islam justru menekankan pada kejernihan hati, toleransi, silaturrahim, dan saling menghormati satu sama lainnya. Hal positif seperti itu, tentu jauh dari persepsi kebencian dan kekerasan.
Namun fakta di lapangan, banyak kelompok yang melakukan kekerasan dengan dalih membela agama. Karena itu, perlu adanya upaya konkrit untuk merubah paradigma keliru tersebut. Misalnya melakukan sosialisasi dan pendampingan terhadap remaja agar generasi bangsa ini tidak terpengaruh oleh doktrin yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Wacana ini mengemuka saat Lazuardi Birru berbincang dengan Dr Seto Mulyadi, Ketua Dewan Pembina Komnas Anak, di kediamannya Cirendeu, Jakarta Selatan. Sore itu, di ruang kerjanya, Kak Seto, biasa ia dipanggil, menjawab pertanyan-pertanyaan Lazuardi Birru seputar radikalisme, terorisme, dan dunia remaja. Berikut petikan wawancaranya.
Mengenai persepsi tadi, hubungannya dengan remaja seperti apa?
Tindakan radikalisme dan terorisme yang kerap terjadi di Indonesia berawal dari kesalahan persepsi yang keliru dalam memahami jihad dan ajaran agama. Pandangan yang keliru tadi, berpadu dengan darah muda yang sedang bergejolak dan sedang mencari jati dirinya.
Kemudian, seolah-olah membenarkan adanya agresifitas, adanya kekerasan dan hal-hal yang sifatnya justru tidak sesuai dengan apa yang diajarkan agama. Saya kira, ini yang harus diubah secara bersama-sama dengan berbagai cara yang positif, namun juga tepat mengena pada hati para generasi muda.
Lalu, langkah apa yang bisa kita lakukan?
Terorisme itu adalah tindakan yang keliru. Tindakan tersebut justru melanggar apa yang sebenarnya diajarkan oleh agama. Karena itu, kita perlu perangi bersama dengan berbagai cara yang tepat dan efektif. Misalnya, kalau petugas keamanan segera melakukan pengamanan di berbagai tempat. Bagi kalangan sesama generasi muda harus merangkul mereka dan mengajaknya ke jalan yang lebih tepat dan tidak melakukan tindakan kekerasan dan terorisme dengan berlabel agama tadi.
Selain itu, sebagai upaya preventif dan edukasi, apa yang dilakukan Lazuardi Birru menerbitkan komik sudah sangat tepat. Komik sebagai sarana untuk kampanye bahaya laten kekerasan dan terorisme sangat efektif bagi generasi muda sebagai targetnya.
Komik terbitan LB ini (Kutemukan Makna Jihad, red), merupakan terobosan baru dalam menyampaikan pesan pada pembaca. Dengan komik tersebut, pembaca diajak untuk memahami makna jihad secara benar. Makna jihad itu sangat luas, bukan untuk melakukan pengeboman, apalagi bom bunuh diri. Tapi ada makna yang jauh lebih mendalam yang berakar dari ajaran agama Islam yang sebenarnya.
Selama ini kelompok yang melakukan aksi kekerasan selalu menggunakan agama sebagai pembenar, Anda melihatnya seperti apa?
Itu persepsi yang keliru, seolah-olah justru itu yang dianjurkan, seolah-olah dengan cara membunuh, memusnahkan dan melakukan suatu tindak kekerasan walaupun terpaksa harus mengorbankan diri sendiri itu adalah bagian dari apa yang diperintahkan oleh agama, bagian dari jihad, dan bagian dari tugas suci.
Nah, pandangan atau paradigma yang keliru ini memang banyak dikembangkan pada kalangan remaja. Tugas kita sekarang adalah bagaimana meluruskan pandangan yang keliru tadi, mengajak anak-anak remaja untuk tidak terperangkap dan terjerumus ke dalam ajakan-ajakan pihak yang mempersepsikan agama secara keliru.
*****
Agustus 2009, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri memberikan keterangan resmi mengenai identitas pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan, 17 Juli 2009. Ledakan yang menewaskan 9 orang, dan 53 lainnya luka berat itu, dilakukan oleh Dani Dwi Permana, seorang remaja yang baru saja lulus dari SMA Yadika Kemang Bogor, Juni 2009.
Saat itu, bapak Dani dipenjara, dan kedua orangtuanya bercerai. Ia dikenal warga sebagai remaja yang aktif di berbagai kegiatan sosial dan keagamaan di tempat tinggalnya, di Perumahan Telaga Kahuripan. Setelah lulus, tiba-tiba Dani menghilang dari kediamannya itu.
Saat masih berstatus sebagai siswa SMA, ia sempat menjadi petugas adzan dan kebersihan masjid di Masjid As-Surur yang berada di lingkungan Candraloka Perumahan Telaga Kahuripan. Ia juga aktif di remaja Masjid As Surur dan Masjid Raya Telaga Kahuripan. Namun, secara mengejutkan ia bergabung dengan Saefudin Zuhri, anggota kelompok Noordin M Top dan menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott.
Fenomena remaja menjadi target rekrutmen jaringan terorisme dan pelaku bom bunuh diri tidak hanya di Indonesia. Baru-baru ini, Pemerintah Afghanistan mengaku bahwa polisi Afganistan telah menyelamatkan 41 anak calon pelaku bom bunuh diri. Ke 41 anak tersebut rencananya akan diselundupkan melintasi pegunungan ke Pakistan.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Afghanistan, Sediq Sediqqi, mengatakan bahwa anak-anak berusia 6 hingga 11 tahun telah diamankan dari cengkeraman empat pemberontak di bagian timur provinsi Kunar pada 15 Februari 2012.
Menurut dia, kelompok teroris telah menipu keluarga mereka dengan berjanji untuk mengirim mereka ke berbagai seminari di Pakistan, padahal mereka akan dicuci otak dan disiapkan untuk bom bunuh diri, (Detik, 21/02/2012).
Fakta tersebut membuat publik miris. Remaja sebagai generasi muda bangsa semestinya diselamatkan dari pengaruh doktrin radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme ini.
Menurut Kak Seto, agar para remaja terhindar dari pengaruh doktrin radikalisme ini, peran orangtua, keluarga, dan lingkungan masyarakat sangat penting. Sebab, tanpa peran aktif mereka, para remaja bisa saja terjebak pada kelompok radikal yang sedang marak merekrut remaja dalam organisasinya.
Belakangan ini, banyak para remaja menjadi pelaku tindakan terorisme dan bom bunuh diri. Sebanarnya fenomena apa yang terjadi pada remaja kita?
Pertama, para remaja seringkali kurang mendapatkan perhatian, misalnya dari pihak keluarga. Baik kurang perhatian karena lingkungan, keadaan ekonomi, maupun kesibukan orangtua. Atau karena memang tidak ada suatu pola pendidikan yang tepat di dalam keluarga tersebut, sehingga anak mencari-cari sendiri.
Dalam masa pencarian ini, seringkali seorang remaja yang masih labil bertemu dengan pihak yang sama-sama frustasi. Sebab di komunitasnya, mereka merasa tidak mendapatkan perhatian dan tidak dihargai potensi-potensi unggulnya.
Situasi yang frustasi dalam mencari identitas diri tersebut, dipadu juga dengan semangat yang membara sebagai generasi muda, akhirnya bertemu dengan suatu ideologi yang keliru yang justru mengajarkan bahwa agama membenarkan berbagai tindak kekerasan. Situasi seperti ini sangat merugikan bagi masa depan generasi muda.
Hal ini harus kita sadari bersama, agar para orangtua, guru, dan masyarakat memberikan perhatian yang serius pada anak-anak dan generasi muda. Sebab, para remaja memang senang sekali melakukan sesuatu yang dianggap mempunyai nilai-nilai heroisme, niali-nilai jihad, nilai-nilai suatu pengorbanan suci, dan sebagainya.
Namun, apabila semangat tersebut dibungkus oleh suatu ajaran yang keliru dan mengatasnamakan agama, maka akan menjadi sangat berbahaya, baik pada diri remaja itu maupun masyarakat secara luas.
Selama ini, Anda cukup concern dalam mendampingi remaja. Langkah apa yang harus dilakukan agar fenomena remaja terlibat dalam aksi terorisme bisa dicegah?
Satu-satunya cara adalah kita bersaing dengan para penyebar ajaran-ajaran yang keliru tadi. Misalnya menganjurkan pada para orangtua untuk kembali ke keluarga, sesibuk apapun mereka, jangan lupakan keluarga, karena keluarga adalah tanggung jawab para orangtua itu. Kemudian melakukan dialog, komunikasi efektif, diskusi bersama di dalam keluarga tersebut.
Kedua adalah lingkungan masyarakat sekitar, mungkin lembaga setingkat RT/RW, itu juga diberdayakan untuk menghimpun para remajanya. Jadi, masyarakat bisa mengetahui dengan pasti remaja-remaja ini mempunyai kegiatan apa dan di mana. Bisa juga para remaja ini dilibatkan dalam kegiatan organisasi remaja-remaja RT, kemudian ada pertemuan rutin, ada kegiatan yang positif, dan ada penghargaan atau apresiasi terhadap remaja yang berprestasi. Dengan demikian, mereka tidak akan ada waktu lagi untuk bisa dijejali dengan hal-hal yang keliru tadi.
Itu harus menjadi suatu gerakan bersama di mana lembaga keluarga dan RT/RW sebagai basic dari lembaga komunitas yang paling kecil, yang ada dalam masyarakat kita itu juga diperdayakan untuk bisa mengendalikan para remajanya.
Anda melihat peran pemerintah dalam menangani tindakan terorisme seperti apa?
Kalau terhadap remaja ini memang belum terlalu optimal. Saat ini, misalnya konsentrasi pemerintah lebih pada persoalan narkoba, padahal permasalahan remaja tidak hanya itu. Jadi, mungkin pemerintah juga perlu memberdayakan berbagai organisasi-organisasi remaja, seperti Pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), dan Karang Taruna.
Pemerintah juga harus memberikan apresiasi pada para remaja, misalnya remaja masjid. Selain itu, harus ada bimbingan dan panduan untuk melakukan berbagai kegiatan-kegiatannya. Tentu saja bukan sekedar intervensi, tetapi jangan lepas sama sekali.
Pemerintah bisa memberdayakan remaja tersebut melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan sebagainya. Jadi, pemahaman pada remaja yang juga dalam undang-undang perlindungan anak sebagian juga masih tergolong anak itu harus menjadi salah satu skala prioritas pemerintah.
Dari sekian banyak lembaga pemerintah yang ada, mana yang cukup efektif dalam menangani persoalan radikalisme dan terorisme ini?
Mungkin justru ini yang lemah, dalam artian anggaran untuk menangani persoalan ini kurang besar. Misalnya di Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pemuda dan Olahraga. Perlindungan anak ini juga harus menjadi bagian dari program pemerintah, seperti melindungi anak-anak dari jeratan, ajakan, dan jebakan yang bisa merusak para remaja dan memanfaatkannya serta memperalat mereka untuk melakukan bom bunuh diri, meresahkan masyarakat dan lain sebagainya.
******
Tak terasa, perbincangan seputar radikalisme dan terorisme mengalir hingga adzan magrib berkomandang. Akhirnya kami mengakhiri perbincangan sore itu dengan kesimpulan bahwa tindakan kekerasan dan terorisme tidak bisa dibenarkan. Kekerasan berlabel agama yang seolah-seolah tugas suci dan mulia itu, sama sekali tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
Apa pesan Anda pada para remaja?
Kepada para remaja, marilah kita tetap berpikir jernih, tetap waspada terhadap kemungkinan adanya pihak yang akan menyalahgunakan potensi para remaja ini. Kita tetap menyadari bahwa agama manapun tidak ada yang mengajarkan kekerasan, tidak ada yang mengajarkan terorisme dengan melakukan suatu tindakan yang justru merugikan diri para remaja, maupun masyarakat secara luas.
0 komentar:
Posting Komentar