Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........

Bina Damai dalam Pendidikan

Selasa, 04 September 2012 | 0 komentar


Konflik horizontal semakin menjadi. Seluruh aspek kehidupan seperti menjadi pemantik kerusuhan dan konfl ik, mulai perebutan lahan (persoalan ekonomi), harga diri (sosial), kepercayaan terhadap Tuhan (agama), dan etnisitas.

Peristiwa tersebut tergambar jelas di Indonesia saat ini. Pada Agustus saja setidaknya ada empat peristiwa kerusuhan di Nusantara. Minggu (19/8), konflik SARA pecah di Sukabumi, Jawa Barat. Tepatnya di perkampungan Tarekat AtTijaniyah Mutlak di Kampung Cisaloka, Desa Bojong Tipar, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Tujuh rumah jemaat At-Tijaniyah dibakar massa. Pembakaran itu dipicu meninggalnya seorang ustaz di daerah tersebut. Jenazah sang ustaz ditemukan tak jauh dari perkampungan Tarekat AtTijaniyah. Tarekat ini pernah divonis sesat dan menyesatkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat.

Senin (20/8), bentrok antara warga dua kampung pun menghiasi indahnya silaturahim dan bermaaf-maafan di Hari Raya Idul Fitri di Sigi, Sulawesi Tengah. Satu korban tewas ditemukan dalam bentrok di Sigi dan puluhan luka, termasuk seorang wartawan Nuansa TV. Bentrok juga terjadi di Kelurahan Mangga Dua dan Toboko, Ternate, Maluku Utara. Jatuhnya korban tidak bisa dihindari di tengah garang dan emosi massa yang tak terkendali.

Penembakan juga terjadi pada Selasa (21/8) di Enarotali, Kabupaten Paniai. Penembakan yang dilakukan anggota Organisasi Papua Merdeka itu menewaskan Brigadir Polisi Yohan Kisiwaito. Dalam enam hari terakhir, lima warga dan polisi di Papua tewas ditembak di lima tempat berbeda.

Teranyar ialah konflik di Sampang, Madura (26/8). Bentrokan antara kelompok anti-Syiah dan Syiah itu mengakibatkan dua orang meninggal dan lima lainnya terluka. Korban tewas ialah Hemama, 40, dan adiknya, Thohir, 35. Keduanya dikenal sebagai penganut Syiah. Korban luka berasal dari kelompok anti-Syiah, yakni Syaiful, Samsul, Syaifuddin, Hasyim, dan Mat Soleh. Selain korban dari warga, Kapolsek Omben AK Aries Dwi terluka parah di dahi karena lemparan warga saat mencoba melerai bentrokan. Yang terjadi tidak hanya bentrok. Beberapa rumah warga Syiah di Sampang pun hangus dibakar massa. Kini warga Syiah diungsikan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebuah potret kebangsaan yang tercoreng.

Semakin tingginya intensitas konflik di Indonesia menimbulkan sebuah tanda tanya besar. Mengapa hal tersebut menjadi biasa di tengah euforia demokratisasi? Bagaimana pendidikan berperan dalam membangun keadaban bangsa tanpa konflik?

Dua Simpul Konflik

Menurut Jacques Bertrand dalam Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, ada dua simpul masalah umum yang bisa menyebabkan konflik. Prinsip pertama, yang terkait dengan pertanyaan mengenai inklusi dan ekslusi keanggotaan, menyerupai pembedaan antara nasionalisme sipil dan etnis. Kriteria inklusi paling luas cenderung merupakan kriteria yang paling mendukung kestabilan, sementara yang paling mengekang, kerap terkait dengan jenis nasionalisme etnik terburuk, yang cenderung memunculkan kekerasan terhadap mereka yang disingkirkan.

Kekerasan juga bisa terjadi ketika kelompok-kelompok tercakup sebagai individu-individu, tetapi mereka tidak diakui sebagai kelompok. Dalam kasus ini, inklusi bersifat luas dan mengikuti kriteria individualis menurut prinsip-prinsip liberal, tetapi tidak ada pengakuan atas kelompok-kelompok tertentu, perbedaan budayanya, dan kepentingan yang muncul dari perbedaan tersebut. Penolakan pengakuan yang berulangulang bisa menyebabkan kekerasan.

Prinsip kedua yang menentukan model kebangsaan terkait dengan ketentuan-ketentuan dan saran inklusi. Meski kriteria keanggotaan bisa saja luas dan beberapa kelompok diakui, inklusi mereka mungkin memberikan bagian yang lebih besar kepada budaya atau preferensi tertentu dari suatu kelompok yang hegemonis.

Dalam hal ini, bahasa resmi, kurikulum pendidikan, simbol nasional, praktik agama, atau representasi formal dalam lembaga-lembaga politik bisa memunculkan debat dan konflik. Perundingan bisa berlang sung melalui jalan damai jika pemerintah dilengkapi saluran atau wadah yang memadai untuk menyuarakan keluhan dan menciptakan tekanan terhadap kelompok yang dominan. Kelompok bisa membuat klaim dan mengedepankan kepentingan mereka melalui sarana kelembagaan formal seperti representasi dalam legislatif, atau sarana-sarana yang lebih informal seperti kritik terbuka melalui media ataupun protes politik damai.

Humanisasi

Lebih lanjut, konflik dan ke kerasan yang terjadi saat ini menunjukkan kepada kita betapa keadaban publik sudah mulai luntur. Proses humanisasi dalam term pembudayaan ala Driyarkara pun sudah semakin terpinggirkan.

Proses humanisasi adalah perjalanan tiap pelaku, aktor, subjek manusia Indonesia yang berjuang dengan cerdas, batin hening untuk mencipta struktur-struktur hidup bersama yang semakin manusiawi, berharkat hingga keragaman sebagai bangsa yang satu mengarah menuju bernegara yang demokratis dan berkepastian hukum dengan setiap kemajemukan dihormati dengan keberlain annya dan belajar untuk hidup saling damai sebagai warga negara Indonesia.

Humanisasi pun bermakna kerja kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manu siawi, semakin menyejahterakan satu sama lain, karena orang-orangnya juga saling mengem bangkan kemanusiaan sesama dan dirinya. Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling mengerkah sesamanya sebagai serigala (homo homini lupus) menuju ke kondisi hidup bersama ketika manusia memperlakukan sesamanya dan hidup bersama sebagai sahabat (homo homini socius) (Mudji Sutrisno, 2009).

Tiga Tahap

Guna mewujudkan hal tersebut, dalam sejarah filsafat pendidikan kita jumpai tokoh-tokoh yang menekankan aspek penyesuaian kurikulum dan cara mendidik dengan tahap-tahap perkembangan peserta didik. Heinrich Pestalozzi (1746-1827), misalnya, membedakan tiga tahap dalam perkembangan anak yang perlu diperhatikan dalam mendidik mereka.

Pada tahap pertama itu pikiran anak biasanya masih cukup kabur dan belum terpilah-pilah. Pada tahap kedua, objek-objek pemikiran disadari dengan jelas dalam berbagai bentuk dan sifatnya. Pada tahap terakhir, objek-objek tersebut dapat dimengerti sebagai contoh perwujudan konsep umum. Dalam proses melewati tahap-tahap tersebut, sebagai peserta didik anak perlu secara aktif dilibatkan agar ia sendiri memperoleh dan memperdalam pengetahuannya.

Ketiga tahap perkembangan anak menurut Pentalozzi tersebut menampakkan gema pengaruhnya dalam paham Alfred N Whitehead (1896-1947) tentang ritme pendidikan. Menurut paham tersebut, dalam proses pendidikan dapat dibedakan tiga tahap yang secara ritmis perlu dijaga kelangsungannya.

Tahap pertama disebut tahap romantis, yakni tahap orang mendapatkan pengetahuan: bahannya masih terasa segar karena baru, tetapi banyak hal masih belum jelas; ada daya tarik untuk lebih mengerti; pengertian masih bersifat intuitif. Tahap kedua, tahap presisi, adalah tahap analisis untuk mendapatkan ketepatan pengertian. Bahan yang diperoleh secara umum dan global dalam tahap romantis dianalisis, disistematisasikan, dan diolah pada tahap ini. Tahap ketiga, tahap generalisasi, adalah tahap sintesis dengan pengetahuan yang diperoleh dapat ditempatkan dalam kerangka suatu sistem pemikiran tertentu (Alex Lanur, 2000).

Tampak jelas betapa tahapan di sekolah mempunyai peran masing-masing. Pendidikan dasar (pendidikan anak usia dini, taman kanak-kanak, dan sekolah dasar) menjadi fondasi utama tahap perkembangan peserta didik. Di lembaga tersebut sifat dasar peserta didik dibentuk dan dibangun.

Benarlah ungkapan Romo YB Mangunwijaya, pendidikan dasar punya peran penting dalam pembentukan karakter bangsa. Di tingkat itu setiap ajaran dan ujuran akan selalu diingat peserta didik. Kegagalan dalam pendidikan ini akan bersifat fatal dalam kehidupan peserta didik kelak.

Karena itu, bina damai dalam pendidikan sudah selayaknya disemai pada tingkat tersebut. Pengenalan hal-hal sederhana seperti tolongmenolong, menghormati guru dan teman, dan mau mengakui kesalahan menjadi hal penting.

Hal-hal sederhana tersebut akan mampu membudaya dalam diri peserta didik. Basis kesadaran itulah yang kemudian dirasionalisasi dan diteorisasikan dalam tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keberhasilan rasionalisasi dan teorisasi tentunya tidak dapat lepas dari pendidikan dasar.

Pada akhirnya, bina damai dalam pendidikan khususnya di tingkat pendidikan dasar sudah selayaknya kembali menjadi agenda kebangsaan di tengah intensitas konflik yang meninggi. Tanpa hal itu, bangsa Indonesia akan selalu dirundung masalah dan bara api permusuhan.

Benni Setiawan

Dosen Luar Biasa di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Sumber: Media Indonesia, 3 September 2012

Dialog Intraagama: Urgen dan Relevan

| 0 komentar


Serangkaian peristiwa konflik dan kekerasan yang menimpa kelompok minoritas yang terjadi akhir-akhir ini menyadarkan kita bahwa persoalan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an atau kemajemukan (pluralitas) masih menjadi problem di negeri ini.

 Ternyata pula problem ini bukan hanya menyangkut kemajemukan eksternal (pluralitas agama), melainkan yang tidak kurang gawatnya adalah kemajemukan internal (pluralitas internal agama). Tidak mengherankan jika Prof Nurcholish Madjid dulu sangat gigih mengajarkan dikembangkannya paham pluralisme eksternal dan sekaligus pluralisme internal di kalangan umat dan bangsa Indonesia.

Saya memandang gagasan Cak Nur tersebut masih sangat relevan dan strategis sekali untuk terus dikembangkan. Dalam tulisan ini saya sengaja menghindari penggunaan kata pluralisme oleh karena kata itu cenderung polemis. Jauh lebih aman kita menggunakan kata bahasa Indonesia daripada kata asing (serapan), yaitu kemajemukan eksternal dan internal.

Langkah Kultural: Dialog 

Fakta menunjukkan bahwa kemajemukan internal agama perlu ditangani dengan serius dan penuh kehati-hatian. Pasalnya, konflik-konflik internal agama antaraliran, mazhab, sekte, paham, atau apa pun namanya tidak jarang,bahkan sering kali, berlangsung jauh lebih keras daripada konflik antaragama. Kasus kekerasan yang menimpa kelompok Syiah di Sampang akhir-akhir ini, tarikat Tijaniyah, dan Ahmadiyah di Ciketing belum lama berselang membuktikan adanya problem itu.

Apalagi ternyata konflik kekerasan internal agama itu bahkan sampai mengakibatkan jatuhnya korban jiwa secara sangat mengenaskan dan memilukan. Konflik-konflik internal agama dalam bentuk polemik perbedaan pemahaman tentu tidak mungkin dihilangkan karena menyangkut pemahaman teologi yang memang nisbi dan subjektif meski menyangkut sesuatu yang sangat doktrinal dan fundamental.

Tapi jika konflik-konflik keagamaan akibat perbedaan pemahaman atau aliran itu menjurus pada tindak kekerasan, apalagi sampai jatuh korban jiwa, mutlak harus ada langkah-langkah cepat untuk menghentikannya. Langkah-langkah struktural tentu harus dilakukan oleh negara yang memang memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi segenap bangsa apa pun suku, agama, atau aliran teologi yang dianutnya.

Tapi tentu saja langkah-langkah struktural semata tidaklah cukup. Di sini diperlukan suatu pendekatan budaya atau kultural dengan menghidupkan kembali dialog-dialog antarmazhab, antaraliran,atau apa pun namanya dalam Islam di Indonesia ini. Seruan-seruan mengenai perlunya hidup berdampingan dalam kemajemukan internal (lagi-lagi saya menghindari kata pluralisme internal) harus terus disuarakan dan diteladankan oleh para ulama dan tokoh-tokoh agama.

Dialog internal agama (terutama Islam) memiliki urgensi yang sangat tinggi untuk digelar mengingat fakta bahwa isu-isu keagamaan yang sebenarnya sudah dianggap persoalan khilafiah ternyata masih ada, bahkan masih cenderung ibarat api dalam sekam. Adalah sangat mengejutkan ternyata isu-isu lama mengenai misalnya saja tahlilan, ziarah kubur, peringatan maulid nabi, dan sejenisnya masih juga menjadi penyebab konflik di tengah-tengah umat atau masyarakat.

Di sebuah daerah di Jawa Tengah terjadi sebuah konflik yang sudah menjurus kekerasan hanya karena ada kelompok yang secara terbuka menyatakan tahlil itu bid’ah dan ziarah kubur itu syirik.Sementara kelompok yang satunya lagi menuduh kelompok lainnya sebagai penganut Islam transnasional yang puritan dan atau Wahabisme atau bahkan menuduhnya sebagai pembawa ajaran ekstremisme dan terorisme.

Sangatlah menyedihkan menyaksikan fakta-fakta bahwa persoalan yang selama ini sudah disepakati sebagai masuk wilayah khilafiah ternyata masih bisa menjadi akar konflik internal agama. Menjadi fakta pula bahwa perbedaan awal Ramadan dan 1 Syawal (Idul Fitri) telah cukup untuk menjadi penyebab ketegangan (tension) di kalangan umat Islam.Ketegangan ini menjadi semakin sengit oleh karena ada yang berusaha menarik-narik negara agar ikut campur tangan dalam perbedaan paham keagamaan itu.

Dialog yang Diperluas 

Walhasil dialog internal agama mendesak untuk diselenggarakan. Dialog-dialog ini bukan hanya dialog-dialog yang berdimensi doktrinal atau mazhab, melainkan juga dialog-dialog karya yang jauh lebih konkret. Dialog-dialog itu secara langsung dan tidak langsung akan mengajarkan kepada umat masing-masing untuk dapat hidup berdampingan secara rukun dan harmonis meskipun berbeda paham,aliran, mazhab, dan praktik-praktik keagamaannya.

Dialog-dialog antarmazhab ini setidaknya akan dapat meningkatkan pemahaman timbal balik antarmazhab yang berbeda. Lebih daripada itu akan mengurangi ketegangan antargolongan keagamaan yang diakibatkan ketidaktahuan atau ketidakmengertian di antara satu golongan atau aliran dengan golongan atau aliran yang lain.

Dialog-dialog ini sangat mungkin dilakukan. Pertama, di antara elite aliran agama masing-masing tentu sudah sangat akrab dengan perbedaan mazhab atau aliran oleh karena di bangku kuliahnya dulu mereka ketika studi agama tentu sempat belajar ilmu perbandingan mazhab (muqaranah ‘l-mazhab).

Kedua, setelah reformasi diselenggarakan beberapa kali Kongres Umat Islam (KUI) di Jakarta.Tapi agenda-agenda yang diangkat dalam kongres tersebut terlalu sarat dengan dimensi politik. Kini format kongres tersebut perlu diganti dengan dialog internal umat Islam dengan melibatkan bukan hanya golongan-golongan konvensional saja, melainkan juga golongan-golongan dan kelompok-kelompok Islam inkonvensional atau gerakangerakan Islam kontemporer.

Golongan-golongan konvensional atau gerakan-gerakan Islam kontemporer dengan segala bentuk dan corak pemahaman keagamaannya yang baru nyatanya telah tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kita. Bahkan memiliki pengikut dalam jumlah yang semakin besar secara numerikal yang diakui atau tidak telah menimbulkan kegalauan kalangan Islam konvensional yang telah memiliki sejarah panjang di negeri ini.

Golongan konvensional memandang gerakan-gerakan Islam kontemporer atau yang secara agak peyoratif disebut sebagai kelompok-kelompok sempalan (splinter groups) itu dengan sedikit curiga. Sementara kelompok yang terakhir ini kadang-kadang— meski tidak semuanya— tampil agak sedikit eksklusif. Bertemunya sikap curiga dan kecenderungan eksklusivisme atau sikap sektarianisme antarkelompok keagamaan ini terus terang saja ikut menyuburkan komunalisme atau ashabiyah. Inilah sejatinya yang menjadi benih-benih konflik antarkelompok internal agama di Indonesia.

Walhasil, dialog internal umat Islam perlu dilakukan. Jika selama ini umat Islam Indonesia dapat memelopori diselenggarakannya dialog-dialog antaragama, bahkan interfaith dialogue, dengan peserta perwakilan dari agama-agama besar yang ada, rasanya aneh kalau umat Islam tidak bisa menyelenggarakan dialog internal agama Islam sendiri.

Maka untuk melengkapi penyelenggaraan dialog antaragama, interfaith dialogue, dialog peradaban, dan lainnya perlu digelar dialog antarmazhab, dialog antar-“aliran”, dialog antargerakan Islam, atau apa pun namanya. Dialog-dialog semacam ini akan mampu mengikis sikap saling curiga, sikap merasa benar sendiri, dan sikap mudah menghakimi atau menyesatkan kelompok lain sebagai menyimpang. Dialog ini setidaknya berpotensi mendinginkan suasana ketegangan di antara aliran dan atau mazhab dalam Islam.

Sebagai penutup perlu ditegaskan di sini bahwa umat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa ini. Jika umat Islam yang berbeda-beda mazhab, aliran, organisasi, dan pemahaman itu bisa hidup berdampingan dengan rukun dan harmonis niscaya akan memberikan sumbangan yang sangat besar bagi integrasi nasional. Sangat meyakinkan, gengsi, prestasi, dan reputasi bangsa Indonesia sebagian (besar) terletak di pundak umat Islam, semata-mata karena merupakan bagian terbesar dari bangsa ini. Jika persoalan internal umat Islam selesai, selesailah separuh dari persoalan bangsa ini. Percayalah.

 Hajriyanto Y Thohari

Wakil Ketua MPR RI

Teroris Keliru Memahami Jihad dan Ajaran Agama

| 0 komentar


Maraknya tindakan radikalisme dan terorisme yang terjadi di Tanah Air, berawal dari persepsi yang keliru tentang makna jihad dan ajaran agama. Seolah-olah jihad identik dengan perang melawan musuh. Pemahaman yang sempit seperti ini akan membawa dampak yang besar terhadap perilaku keagamaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang yang memahami agama secara sepenggal itu, cenderung menganggap orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya adalah salah. Ia mengaggap, seolah-olah agama membenarkan adanya tindak kekerasan sebagai upaya mengajak orang lain agar sepaham dan sependapat dengan dirinya.

Padahal agama, khususnya Islam justru menekankan pada kejernihan hati, toleransi, silaturrahim, dan saling menghormati satu sama lainnya. Hal positif seperti itu, tentu jauh dari persepsi kebencian dan kekerasan.

Namun fakta di lapangan, banyak kelompok yang melakukan kekerasan dengan dalih membela agama. Karena itu, perlu adanya upaya konkrit untuk merubah paradigma keliru tersebut. Misalnya melakukan sosialisasi dan pendampingan terhadap remaja agar generasi bangsa ini tidak terpengaruh oleh doktrin yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Wacana ini mengemuka saat Lazuardi Birru berbincang dengan Dr Seto Mulyadi, Ketua Dewan Pembina Komnas Anak, di kediamannya Cirendeu, Jakarta Selatan. Sore itu, di ruang kerjanya, Kak Seto, biasa ia dipanggil, menjawab pertanyan-pertanyaan Lazuardi Birru seputar radikalisme, terorisme, dan dunia remaja. Berikut petikan wawancaranya.

Mengenai persepsi tadi, hubungannya dengan remaja seperti apa?

Tindakan radikalisme dan terorisme yang kerap terjadi di Indonesia berawal dari kesalahan persepsi yang keliru dalam memahami jihad dan ajaran agama. Pandangan yang keliru tadi, berpadu dengan darah muda yang sedang bergejolak dan sedang mencari jati dirinya.

Kemudian, seolah-olah membenarkan adanya agresifitas, adanya kekerasan dan hal-hal yang sifatnya justru tidak sesuai dengan apa yang diajarkan agama. Saya kira, ini yang harus diubah secara bersama-sama dengan berbagai cara yang positif, namun juga tepat mengena pada hati para generasi muda.

Lalu, langkah apa yang bisa kita lakukan?

Terorisme itu adalah tindakan yang keliru. Tindakan tersebut justru melanggar apa yang sebenarnya diajarkan oleh agama. Karena itu, kita perlu perangi bersama dengan berbagai cara yang tepat dan efektif. Misalnya, kalau petugas keamanan segera melakukan pengamanan di berbagai tempat. Bagi kalangan sesama generasi muda harus merangkul mereka dan mengajaknya ke jalan yang lebih tepat dan tidak melakukan tindakan kekerasan dan terorisme dengan berlabel agama tadi.

Selain itu, sebagai upaya preventif dan edukasi, apa yang dilakukan Lazuardi Birru menerbitkan komik sudah sangat tepat. Komik sebagai sarana untuk kampanye bahaya laten kekerasan dan terorisme sangat efektif bagi generasi muda sebagai targetnya.

Komik terbitan LB ini (Kutemukan Makna Jihad, red), merupakan terobosan baru dalam menyampaikan pesan pada pembaca. Dengan komik tersebut, pembaca diajak untuk memahami makna jihad secara benar. Makna jihad itu sangat luas, bukan untuk melakukan pengeboman, apalagi bom bunuh diri. Tapi ada makna yang jauh lebih mendalam yang berakar dari ajaran agama Islam yang sebenarnya.

Selama ini kelompok yang melakukan aksi kekerasan selalu menggunakan agama sebagai pembenar, Anda melihatnya seperti apa?

Itu persepsi yang keliru, seolah-olah justru itu yang dianjurkan, seolah-olah dengan cara membunuh, memusnahkan dan melakukan suatu tindak kekerasan walaupun terpaksa harus mengorbankan diri sendiri itu adalah bagian dari apa yang diperintahkan oleh agama, bagian dari jihad, dan bagian dari tugas suci.

Nah, pandangan atau paradigma yang keliru ini memang banyak dikembangkan pada kalangan remaja. Tugas kita sekarang adalah bagaimana meluruskan pandangan yang keliru tadi, mengajak anak-anak remaja untuk tidak terperangkap dan terjerumus ke dalam ajakan-ajakan pihak yang mempersepsikan agama secara keliru.

*****

Agustus 2009, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri memberikan keterangan resmi mengenai identitas pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan, 17 Juli 2009. Ledakan yang menewaskan 9 orang, dan 53 lainnya luka berat itu, dilakukan oleh Dani Dwi Permana, seorang remaja yang baru saja lulus dari SMA Yadika Kemang Bogor, Juni 2009.

Saat itu, bapak Dani dipenjara, dan kedua orangtuanya bercerai. Ia dikenal warga sebagai remaja yang aktif di berbagai kegiatan sosial dan keagamaan di tempat tinggalnya, di Perumahan Telaga Kahuripan. Setelah lulus, tiba-tiba Dani menghilang dari kediamannya itu.

Saat masih berstatus sebagai siswa SMA, ia sempat menjadi petugas adzan dan kebersihan masjid di Masjid As-Surur yang berada di lingkungan Candraloka Perumahan Telaga Kahuripan. Ia juga aktif di remaja Masjid As Surur dan Masjid Raya Telaga Kahuripan. Namun, secara mengejutkan ia bergabung dengan Saefudin Zuhri, anggota kelompok Noordin M Top dan menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott.

Fenomena remaja menjadi target rekrutmen jaringan terorisme dan pelaku bom bunuh diri tidak hanya di Indonesia. Baru-baru ini, Pemerintah Afghanistan mengaku bahwa polisi Afganistan telah menyelamatkan 41 anak calon pelaku bom bunuh diri. Ke 41 anak tersebut rencananya akan diselundupkan melintasi pegunungan ke Pakistan.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Afghanistan, Sediq Sediqqi, mengatakan bahwa anak-anak berusia 6 hingga 11 tahun telah diamankan dari cengkeraman empat pemberontak di bagian timur provinsi Kunar pada 15 Februari 2012.

Menurut dia, kelompok teroris telah menipu keluarga mereka dengan berjanji untuk mengirim mereka ke berbagai seminari di Pakistan, padahal mereka akan dicuci otak dan disiapkan untuk bom bunuh diri, (Detik, 21/02/2012).

Fakta tersebut membuat publik miris. Remaja sebagai generasi muda bangsa semestinya diselamatkan dari pengaruh doktrin radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme ini.

Menurut Kak Seto, agar para remaja terhindar dari pengaruh doktrin radikalisme ini, peran orangtua, keluarga, dan lingkungan masyarakat sangat penting. Sebab, tanpa peran aktif mereka, para remaja bisa saja terjebak pada kelompok radikal yang sedang marak merekrut remaja dalam organisasinya.

Belakangan ini, banyak para remaja menjadi pelaku tindakan terorisme dan bom bunuh diri. Sebanarnya fenomena apa yang terjadi pada remaja kita?

Pertama, para remaja seringkali kurang mendapatkan perhatian, misalnya dari pihak keluarga. Baik kurang perhatian karena lingkungan, keadaan ekonomi, maupun kesibukan orangtua. Atau karena memang tidak ada suatu pola pendidikan yang tepat di dalam keluarga tersebut, sehingga anak mencari-cari sendiri.

Dalam masa pencarian ini, seringkali seorang remaja yang masih labil bertemu dengan pihak yang sama-sama frustasi. Sebab di komunitasnya, mereka merasa tidak mendapatkan perhatian dan tidak dihargai potensi-potensi unggulnya.

Situasi yang frustasi dalam mencari identitas diri tersebut, dipadu juga dengan semangat yang membara sebagai generasi muda, akhirnya bertemu dengan suatu ideologi yang keliru yang justru mengajarkan bahwa agama membenarkan berbagai tindak kekerasan. Situasi seperti ini sangat merugikan bagi masa depan generasi muda.

Hal ini harus kita sadari bersama, agar para orangtua, guru, dan masyarakat memberikan perhatian yang serius pada anak-anak dan generasi muda. Sebab, para remaja memang senang sekali melakukan sesuatu yang dianggap mempunyai nilai-nilai heroisme, niali-nilai jihad, nilai-nilai suatu pengorbanan suci, dan sebagainya.

Namun, apabila semangat tersebut dibungkus oleh suatu ajaran yang keliru dan mengatasnamakan agama, maka akan menjadi sangat berbahaya, baik pada diri remaja itu maupun masyarakat secara luas.

Selama ini, Anda cukup concern dalam mendampingi remaja. Langkah apa yang harus dilakukan agar fenomena remaja terlibat dalam aksi  terorisme bisa dicegah?

Satu-satunya cara adalah kita bersaing dengan para penyebar ajaran-ajaran yang keliru tadi. Misalnya menganjurkan pada para orangtua untuk kembali ke keluarga, sesibuk apapun mereka, jangan lupakan keluarga, karena keluarga adalah tanggung jawab para orangtua itu. Kemudian melakukan dialog, komunikasi efektif, diskusi bersama di dalam keluarga tersebut.

Kedua adalah lingkungan masyarakat sekitar, mungkin lembaga setingkat RT/RW, itu juga diberdayakan untuk menghimpun para remajanya. Jadi, masyarakat bisa mengetahui dengan pasti remaja-remaja ini mempunyai kegiatan apa dan di mana. Bisa juga para remaja ini dilibatkan dalam kegiatan organisasi remaja-remaja RT, kemudian ada pertemuan rutin, ada kegiatan yang positif, dan ada penghargaan atau apresiasi terhadap remaja yang berprestasi. Dengan demikian, mereka tidak akan ada waktu lagi untuk bisa dijejali dengan hal-hal yang keliru tadi.

Itu harus menjadi suatu gerakan bersama di mana lembaga keluarga dan RT/RW sebagai basic dari lembaga komunitas yang paling kecil, yang ada dalam masyarakat kita itu juga diperdayakan untuk bisa mengendalikan para remajanya.

Anda melihat peran pemerintah dalam menangani tindakan terorisme seperti apa?

Kalau terhadap remaja ini memang belum terlalu optimal. Saat ini, misalnya konsentrasi pemerintah lebih pada persoalan narkoba, padahal permasalahan remaja tidak hanya itu. Jadi, mungkin pemerintah juga perlu memberdayakan berbagai organisasi-organisasi remaja, seperti Pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), dan Karang Taruna.

Pemerintah juga harus memberikan apresiasi pada para remaja, misalnya remaja masjid. Selain itu, harus ada bimbingan dan panduan untuk melakukan berbagai kegiatan-kegiatannya. Tentu saja bukan sekedar intervensi, tetapi jangan lepas sama sekali.

Pemerintah bisa memberdayakan remaja tersebut melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan sebagainya. Jadi, pemahaman pada remaja yang  juga dalam undang-undang perlindungan anak sebagian juga masih tergolong anak itu harus menjadi salah satu skala prioritas pemerintah.

Dari sekian banyak lembaga pemerintah yang ada, mana yang cukup efektif dalam menangani persoalan radikalisme dan terorisme ini?

Mungkin justru ini yang lemah, dalam artian anggaran untuk menangani persoalan ini kurang besar. Misalnya di Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pemuda dan Olahraga. Perlindungan anak ini juga harus menjadi bagian dari program pemerintah, seperti melindungi anak-anak dari jeratan, ajakan, dan jebakan yang bisa merusak para remaja dan memanfaatkannya serta memperalat mereka untuk melakukan bom bunuh diri, meresahkan masyarakat dan lain sebagainya.

******

Tak terasa, perbincangan seputar radikalisme dan terorisme mengalir hingga adzan magrib berkomandang. Akhirnya kami mengakhiri perbincangan sore itu dengan kesimpulan bahwa tindakan kekerasan dan terorisme tidak bisa dibenarkan. Kekerasan berlabel agama yang seolah-seolah tugas suci dan mulia itu, sama sekali tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.

Apa pesan Anda pada para remaja?

Kepada para remaja, marilah kita tetap berpikir jernih, tetap waspada terhadap kemungkinan adanya pihak yang akan menyalahgunakan potensi para remaja ini. Kita tetap menyadari bahwa agama manapun tidak ada yang mengajarkan kekerasan, tidak ada yang mengajarkan terorisme dengan melakukan suatu tindakan yang justru merugikan diri para remaja, maupun masyarakat secara luas.

Membunuh (Ideologi) Terorisme

| 0 komentar


Terorisme adalah musuh kemanusiaan yang harus senantiasa diperangi oleh siapa pun dan sampai kapan pun. Disebut musuh kemanusiaan, karena terorisme mengancam seluruh umat manusia, apa pun agama, keyakinan, ras, budaya ataupun warna kulitnya. Faktanya terorisme telah seringkali membuat seseorang menjadi cacat, meningal dunia, kehilangan anggota tubuh, kehilangan bapak, kehilangan ibu, kehilangan suami, kehilangan isteri, kehilangan anak, kehilangan sahabat, dan orang-orang terdekat lainnya.

Karena merupakan musuh kemanusiaan, sejatinya umat manusia memusuhi terorisme. Bahkan bila perlu membunuhnya! Karena bila bukan terorime yang dibunuh, justru kemanusiaan yang akan dibunuh olehnya.

Membunuh terorisme berbeda dengan membunuh teroris. Membunuh teroris mungkin hanya cukup dengan peluru seperti yang kerap dilakukan oleh aparat keamanan. Tapi senjata paling canggih sekalipun hampir dipastikan tidak akan mampu membunuh terorisme.

Hal itu tak lain karena terorisme merupakan sebuah keyakinan dan ideologi yang hidup di dalam pikiran atau bahkan alam bawah sadar yang jauh di sana. Semua ini menunjukkan bahwa faktor terorisme yang utama adalah ideologi atau keyakinan. Sedangkan faktor-faktor lain seperti kemiskinan, ketidakadilan global, ketidakadilan negara, dan yang lainnya tak lebih dari sekadar “faktor penyempurna” bagi kinerja keras ideologi yang ada.

Oleh karena terorisme yang pertama dan terutama adalah keyakinan atau ideologi, dia hanya akan bisa dibunuh oleh ideologi atau keyakinan yang berlawanan. Bila terorisme membolehkan aksi kekerasan, pembunuhnya tak lain adalah ideologi perdamaian. Bila terorisme membolehkan menyerang aparat negara, pembunuhnya adalah ideoloi ketaatan (at-tha’ah) terhadap negara. Bila terorisme membolehkan menyerang aset-aset asing atas nama ketidakadilan global, pembunuhnya adalah ideologi kemanusiaan universal. Dan begitu seterusnya.

Indonesia masih jauh dari berhasil untuk membunuh ideologi terorisme. Faktanya pelbagai macam aksi teror masih terus berlangsung hingga hari ini. Penyergapan dan kontak senjata antara para teroris dengan aparat keamanan di Solo mutakhir merupakan contoh terbaru dari ancaman terorisme yang bersifat laten dalam kehidupan masyarakat.

Aparat keamanan harus merangkul semua pihak untuk terus melawan ancaman terorisme, khususnya kaum agamawan. Hingga ideologi terorisme yang tumbuh subur di dalam pikiran para teroris bisa diatasi dan dibunuh dengan menggunakan kekuatan ideologi juga. Atau setidak-tidaknya agar ideologi terorisme tidak menyebar dari satu pikiran ke pikiran yang lain.

Tetap waspada!

Pentingnya Bangun Karakter dan Jati Diri Bangsa

| 0 komentar


Arus deras globalisasi telah menghasilkan dampak positif dan negatif dalam kehidupan bangsa Indonesia. Kenyataan ini harus disiasati agar umat Islam tidak hanyut yang mengakibatkan hilangnya identitas sebagai bangsa.

“Dalam upaya memperbaiki kehidupan berbangsa di tengah kegalauan globalisasi ini, NU mengajak untuk kembali membangun karakter dan jati diri bangsa ini,” kata Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj dalam acara halal bihalal dan peluncuran Munas dan Konbes NU, Selasa, 4/9/2012.

Menurut dia, kondisi ini juga menuntut adanya keterbukaan budaya. Namun, di era globalisasi kemampuan umat beragama dalam beradaptasi akan selalu dibutuhkan. “NU sejak lama sudah lama punya prinsip pertahankan budaya, petahankan tradisi, pertahankan jati diri, tapi juga ambil ilmu-ilmu yang semakin maju,” tandasnya.

Dalam acara yang dirangkai dengan Halal Bialal ini, Kang Said menjelaskan tentang relevansi tema Munas dan Konbes NU yang digelar di Cirebon, 14-17 September 2012 mendatang. Tema tersebut adalah Kembali ke Khittah Indonesia 1945, Meningkatkan Khidmat NU Menuju Indonesia yang Berdaulat, Adil dan Makmur.

“Yang tiada lain adalah kembali pada semangat Proklamasi, kembali kepada nilai-nilai Pancasila dan kembali berpegang pada amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” tuturnya.

Dengan kembali ke nilai dasar, demikian Kang Said, kita akan selamat dari gelombang globalisasi. Bahkan sebaliknya, mengendalikan globalisasi untuk menciptakan negara yang berdaulat, adil dan makmur sebagaimana dicita-citakan 67 tahun lalu. “Perlu kita segarkan dan tegaskan kembali saat ini,” pungkasnya.

Sumber: NU Online

Jangan Kotori Dakwah dengan Kekerasan

| 0 komentar


Dakwah merupakan metode yang efektif menyampaikan ajaran Islam pada khalayak. Dengan metode dakwah yang benar, nilai-nilai Islam sebagai agama universal bisa tersampaikan. Misalnya melakukan dakwah dengan santun, menghormati budaya setempat, dan tidak menggunakan kekerasan.

Hal tersebut diungkapkan salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yusri. Menurut dia, melakukan dakwah tanpa mempedulikan budaya lokal bisa menimbulkan resistensi masyarakat.

Menurut dia, agar tidak menimbulkan resistensi, maka dakwah harus dilakukan dengan cara santun, menghargai budaya lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Menurut mahaiswa semester akhir ini, jangan sampai dakwah dikotori dengan cara memaksakan kehendak tanpa harus mempertimbangkan dampak sosial yang muncul.

“Jangan kotori dakwah dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab, misalnya dengan menggunakan cara kekerasan dalam menyampaikannya,” kata Yusri pada Lazuardi Birru, di Yogyakarta, 4/9/2012.

Karena itu, lanjut Yusri, semua itu harus mengacu pada ajakan Alquran, yaitu “ud’u ila sabili robbika bil hikmati wal mauidatil hasanati wajadilhum bil adli hiya ahsan.” Jadi harus ada kearifan, harus ada wisdem dalam kaitannya dengan mengajak orang kepada jalan Allah. “Karena itu, kekerasan, sikap radikal dalam mengajak orang lain kepada agama Allah, dalam mengajak kepada kebenaran tidak dapat dibenarkan,” jelasnya.

Surakarta akan gelar apel "Solo Damai"

Minggu, 02 September 2012 | 0 komentar


Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta akan menggelar apel siaga bertemakan "Solo Damai", Rabu (5/9) di Lapangan Kota Barat. Apel itu bertujuan untuk menggugah kesadaran bahwa sektor keamanan adalah tanggung jawab semua elemen masyarakat.

"Pemkot Surakarta ingin menggugah kembali bahwa urusan keamanan adalah semua elemen masyarakat. Sehingga masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk menegakkan benang kusut keamanan kota Solo," kata Sekda Pemkot Surakarta Budi Soeharto kepada wartawan di Solo seperti dilansir dari antara, Minggu (2/9).

Apel Solo Damai akan melibatkan TNI, Polri, Linmas, Organisasi Politik dan Organisasi Masyarakat yang ada di kota itu.

Dia mengatakan, digelarnya apel siaga tersebut diharapkan akan lebih menggerakkan peran masyarakat yang belakangan ini agak mengendor, seperti ronda, pamswakarsa dan lain-lain yang hubungannya dengan keamanan dan ketertiban masyarakat.

"Nampaknya peran masyarakat terkait keamanan bersama belakangan ini agak berkurang. Maka penyelenggaraan apel ini dimaksudkan untuk memotivasi peran masyarakat, sekaligus konsolidasi masyarakat kota Solo. Paling tidak tercipta kota Solo yang damai," katanya.

Lebih lanjut Budi mengatakan bahwa apel siaga Solo Damai akan diikuti sekitar 2.000 peserta. "Sebanyak 2.000 peserta itu sebagai perwakilan dari seluruh elemen masyarakat yang ada di kota Solo. Rencananya apel tersebut dilaksanakan di Lapangan Kotabarat," katanya.

Kekerasan terhadap Anak-anak Masih Tinggi

| 0 komentar

Anak-anak Indonesia masih kerap menjadi korban kekerasan baik di sekolah maupun keluarga. Presentase anak-anak yang menjadi korban kekerasan ini cukup tinggi. Namun berdasarkan hasil penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun ini bahwa anak-anak Indonesia lebih banyak menjadi korban kekerasan di keluarga daripada kekerasan di sekolah.

“87 persen anak-anak kita adalah korban kekerasan di sekolah, sementara untuk korban kekerasan di rumah cakupannya lebih luas, mencapai 91 persen dari jumlah anak-anak Indonesia,” kata Sekretaris KPAI, Muhammad Muhsin dalam seminar “Menyikapi Kekerasan Pada Anak Usia Dini” di kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), di Ciputat, Jakarta Selatan, Sabtu (1/9/2012).

Muhsin menjelaskan, anak-anak menerima kekerasan di sekolah atau pun di rumah dalam berbagai bentuk. Selain kekerasan fisik, banyak juga kekerasan yang sifatnya psikologis.

Secara tidak sadar, kata dia, kekerasan yang menimpa anak-anak dapat berbentuk diskriminasi, misalnya pembandingan yang dilakukan guru atau orangtua terhadap seorang anak dengan anak lainnya. Belum lagi, kasus pemukulan dan budaya hukuman di sekolah yang dinilai kurang cocok dan harus diubah penerapannya.

Menurut dia untuk kekerasan di sekolah, pelakunya meliputi seluruh warga di sekolah, bisa guru, tenaga pembantu, atau pun teman, sesama siswa. Sementara itu, 38 persen kekerasan di rumah umumnya dilakukan oleh ibu dan 29,9 persen oleh bapak.

“Itu survei kami terakhir kami dan hasilnya memang sangat memprihatinkan,” ujarnya.

Sumber: Kompas

Teroris Solo Farhan ternyata anak tiri Abu Umar

| 0 komentar


Farhan Mujahid, tersangka teroris yang tewas dalam baku tembak dengan Densus 88 di Solo, Jawa Tengah ternyata adalah anak tiri dari Abdullah Umar alias Abu Umar. Abu Umar sendiri diketahui telah divonis bersalah karena terlibat jaringan teroris.

"Abdullah Umar telah menjalani hukuman setelah divonis bersalah karena dianggap terlibat dalam sejumlah jaringan terorisme," kata salah seorang warga Liang Bunyu Kecamatan Sebatik Barat Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur, Nasir, di Sebatik seperti dikutip dari Antara, Senin (3/9).

Menurut Nasir, Farhan berteman baik dengan anaknya sewaktu tinggal di Liang Bunyu pada 2000 silam. Nasir pun mengaku sangat kaget setelah mendengar pemberitaan di media bahwa teroris yang tewas di Solo adalah Farhan Mujahid.

Bahkan Nasir mengetahui saat penangkapan Ustadz Abdullah Umar saat bersama dengan Ustadz Abu Bakar Baasyir.

"Saya tahu waktu Ustadz Abdullah Umar ditangkap sebagai anggota teroris saat bersama Abu Bakar Ba'asyir," ujarnya.

Menurut Nasir, Abu Umar dan anak tirinya Farhan pernah tinggal di kampungnya. Selama berada di Desa Liang Bunyu, Abu Umar pernah menjadi Kepala Sekolah SD 041 Muhammadiyah Liang Bunyu dan sering menggelar pengajian dan berdakwah di masjid-masjid termasuk di Masjid Darus Salam yang berdampingan dengan sekolahnya, kata Kepala Desa Liang Bunyu, Mansyur, di Sebatik.

Marhani, salah seorang mantan guru bantu Ustaz Abdullah Umar mengakui bahwa mantan kepala sekolahnya yang saat telah divonis terlibat dalam jaringan teroris di Indonesia itu setiap berdakwah hanya mengajarkan ajaran agama sesuai Alquran dan hadits.

Da mengakui dirinya juga seringkali mengikuti pengajian dan dakwah yang dilakukan Ustadz Abdullah tersebut. "Saya sering juga ikuti pengajian yang dilakukan ustaz Abdullah setiap pulang sekolah di masjid," kata Marhani.

Namun setelah meninggalkan Liang Bunyu pada 2005 dengan memboyong dua orang istrinya yang salah satunya adalah ibu kandung Farhan Mujahid, dirinya tidak pernah mendengar lagi aktivitasnya.

Tetapi pada saat itu, dia (Abdullah Umar) sempat pamitan dengan warga Liang Bunyu dan mengatakan akan pulang ke Jawa karena Farhan akan melanjutkan sekolahnya di Pondok Pesantren Ngruki.

Marhani maupun Nasir mengaku baru mengetahui keberadaannya, ketika Abdullah Umar tertangkap oleh kepolisian karena dianggap masuk dalam jaringan terorisme di Indonesia bersama ustad Abu Bakar Baasyir.

Antisipasi Kasus Terorisme Harus Terus Ditingkatkan

Sabtu, 01 September 2012 | 0 komentar


Wakil Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Brigadir Jenderal Polisi Syahrul Mamma, menyatakan, pihaknya sudah mengantisipasi tindak teroris dengan cara meningkatkan kesiagaan personel.

“Kita tidak bisa menduga aksi-aksi teroris itu, tetapi kami disini sudah sejak lama melakukan langkah antisipasi itu,” ujar Mamma, di Landasan Bandara Sultan Hasanuddin, Sabtu.

Ia mengatakan, ancaman tindak pidana dari hari ke hari semakin tinggi dan beberapa daerah di Indonesia juga sudah disusupi dengan aksi-aksi terorisme seperti yang terjadi di Solo, Jawa Tengah yang mengakibatkan gugurnya salah satu anggota Densus 88 Polri, Bripda Suherman.

Menurutnya, aksi teroris itu bisa terjadi dimana saja, tetapi dengan beberapa langkah antisipasi serta kerjasama yang baik antara seluruh elemen masyarakat, maka aksi teroris yang terjadi di daerah lain bisa diantisipasi di Sulsel.

“Yang terpenting kita meningkatkan kewaspadaan dan memaksimalkan semua organ-organ kepolisian serta menjalin kerjasama dengan semua pihak-pihak terkait,” katanya.

Sebelumnya, dalam insiden bentrokan antara Detesemen Khusus 88 dengan terduga teroris yang menewaskan salah seorang anggota Densus 88 Bripda Suherman terjadi di Jalan Veterean, Kota Solo, Jawa Tengah pada Jumat (31/8) malam.

Sumber: Antara

Gamelan Bisa Menangkal Radikalisme

| 0 komentar

Gamelan bisa dimanfaatkan untuk memerkuat ketahanan budaya dan menangkal radikalisme. Nilai filosofis di balik perangkat gamelan atau dalam syair gending gamelan yang mengandung ajaran guyub rukun, gotong royong, dan sopan santun dapat memerkuat ketahanan budaya masyarakat.

Hal ini dikatakan Joko Ngatimin, Ketua Sanggar Sekar Jagad Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, di Sukoharjo, Kamis 05 Juli 2012. Ia menggagas digelarnya Sekar Jagad Gamelan Festival 2012 pada 7-8 Juli di Dusun Kotakan, Desa Bakalan, Polakarto Sukoharjo.

“Salah satu contoh, pada alat gender. Ada nada paling rendah hingga paling tinggi di dalamnya. Artinya harus ada harmonisasi saat dimainkan dengan perangkat lain agar menghasilkan gending yang enak didengar. Orang bermain gamelan itu tidak bisa egois sebab harus memerhatikan harmonisasi dengan pemain lain,” ujarnya.

Demikian pula dengan gending gamelan yang kebanyakan berisi ajaran moral yang baik. Ia menyontohkan gending “Gugur Gunung” yang bercerita tentang gotong royong. Demikian pula dengan gending “Serayu” yang bercerita mengenai kelestarian alam.

Ada 27 kelompok yang akan berpartisipasi dalam festival ini. Sebagian besar adalah kelompok gamelan kampung yang diikuti petani, tukang becak, atau ibu-ibu pedagang di pasar tradisional.


Hindari Konflik Antarumat Beragama dengan Mengakui Perbedaan

| 0 komentar


Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghindari konflik antarumat beragama yang kerap terjadi di Tanah Air. Salah satunya dengan mengakui perbedaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Selain itu, mewaspadai intervensi dari pihak luar juga menjadi hal penting agar suasana tidak semakin keruh. Hal tersebut diungkapkan Menteri Agama, Suryadharma Ali, seperti dilansir laman Kementerian Agama, 1/9/2012.

“Masalah kerukunan bersifat dinamis. Untuk terus tercipta rukun perlu kewaspadaan semua pihak. Ada pihak yang menghendaki terciptanya konflik agama yang menjadi pintu masuk konflik bermasyarakat,“ kata Menag.

Gangguan kerukunan diakuinya terjadi luar biasa dalam beberapa dekade terakhir. Sorotan media yang berlebihan ditambah penilaian pihak luar negeri dan pihak di luar umat beragama menyulut konflik. Alhasil, kualitas kerukunan Indonesia dinilai buruk, padahal yang terjadi justru sebaliknya.

“Kerukunan beragama terbaik di dunia karena bisa menghormati minoritas. Banyak provokator yang menginginkan terjadi konflik. Maka, tokoh umat beragama jangan mudah tersulut,bagi saya konflik kecil itu biasa karena kita keluarga bangsa yang besar,“ ungkapnya.

Setiap indikasi gesekan egoisme kedaerahan dimintanya ditanggapi dengan biasa. Perbedaan itu, sebut Menag, ciptaan Tuhan. Jadi, siapa yang mengingkari berarti tidak mengakui Tuhan. Justru, imbuhnya, negara-negara Eropa dan Barat harus belajar tentang kerukunan pada Indonesia. Lantaran mempunyai berbagai macam suku di 17 ribu pulau, agama, dan keyakinan namun bisa hidup berdampingan. “Keberagaman dan perbedaan yang diikat dalam nilai agama harus jadi kekuatan,“ imbuhnya.

Namun, dia tak bisa memungkiri ancaman dari internal umat juga harus diantisipasi. Peran Pusat Kerukunan Umat Beragama, tokoh masyarakat serta tokoh agama harus diikutsertakan. Mereka, sebutnya, harus bisa mengidentifikasi ajaran radikal dan berbeda dengan prinsip keagamaan yang bisa menimbulkan konflik. Pasalnya, aliran dalam suatu agama juga memunculkan potensi konflik serta perpecahan.

“Misalnya, petakan Sulawesi dimana ada indikasi gerakan radikal dan pahamnya tak sesuai, setelah itu tokoh agama datang dan memberi penerangan, penjelasan, serta membuka dialog penuh persaudaraan. Sehingga ada pelurusan ajaran agama. Pemahaman peta ajaran tadi bisa membantu antisipasi awal. Potensinya dideteksi sedini mungkin melalui diklat dan survei,“ demikian Menag menjelaskan.

Selama ini dia menilai ada sesuatu yang kurang sesuai dalam syiar dakwah. Lantaran masih terbatas dilakukan di masjid, pesantren, ataupun tempat-tempat ibadah. Padahal seharusnya juga menyentuh di tempat-tempat yang berpotensi konflik tadi.

Sementara itu, Dirjen Bimas Islam Kemenag Prof Abdul Djamil turut menekankan bahwa misi utama kerukunan umat beragama, salah satunya peningkatan kualitas kerukunan. “Agama jangan menampilkan wajah yang tidak rukun, masalah ini adalah never ending story bangsa kita sehingga harus selalu diawali serta diakhiri dengan damai,“ ungkapnya.
 
© Copyright 2010-2011 TANAH KHATULISTIWA All Rights Reserved.
Template Design by Purjianto | Published by script blogger | Powered by Blogger.com.