Adalah Malala Yousafzai, aktivis remaja berusia 14 tahun korban penembakan Taliban. Malala mulai muncul di hadapan publik sejak usia 11 tahun. Saat itu ia menulis di blog BBB berbahasa urdu, dengan sebuah nama pena, untuk melawan perlakuan tidak sewenang-wenang kelompok Taliban di kampung halamannya.
Koran India, The Hindu, melaporkan, pasca kejadian penembakan terhadap Malala, banyak remaja perempuan di Afghanistan mengatakan “Saya Malala”. Ini sebagai bentuk tantangan terhadap pernyataan jubir Taliban, Ihsanullah Ihsan, yang berjanji akan membunuh Malala jika masih hidup.
Taliban, kelompok teroris bentukan AS saat perang melawan pengaruh Soviet, melarang anak-anak perempuan memasuki sekolah. Bagi mereka, perempuan bersekolah itu merupakan simbol kebudayaan barat.
Tak sedikit perempuan, termasuk anak-anak, menjadi korban kebrutalan Taliban. Terkadang, dalam urusan seperti berpakaian, Taliban mengatur mana yang pantas dan tidak pantas dikenakan oleh perempuan. Taliban melarang baju warna-warni.
Malala bersuara keras menentang semua itu. Tak hanya di blog, ia aktif berkampanye untuk memperjuangkan hak perempuan atas pendidikan. Ia melakukan itu di kampung halamannya, Mingora, lembah Swat, Pakistan Utara, sebuah daerah yang dikontrol Taliban sejak tahun 2007 hingga sekarang.
Sejak Januari 2009, Taliban menutup sekolah-sekolah dan melarang perempuan bersekolah. Tetapi anak-anak perempuan di lemba Swat tak takut. Mereka tetap memilih pergi ke sekolah. Ini berkat kampanye terus-menerus dari Malala.
Pada 9 Oktober lalu, saat Malala Yousafzai bersama dua rekannya, Shazia Ramzan and Kainat Ahmed, di dalam sebuah bus sepulang dari sekolah, pasukan bersenjata Taliban menembaknya dalam jarak dekat. Peluru Taliban bersarang di leher dan kepalanya. Tembakan teroris juga melukai dua kawannya yang lain.
Saat itu, seperti dituturkan kawannya yang melihat kejadian, kelompok Taliban menghentikan bus yang ditumpangi Malala. Ia menanyakan siapa yang bernama “Malala Yousafzai”. Tak satupun diantara rekan Malala yang menjawab atau menunjuk. Tembakan jarak dekat pun menyalak.
Saat ini dukungan terhadap pun terus berdatangan. Tak hanya dukungan dari rakyat di negerinya, Pakistan, tetapi juga dukungan masyarakat internasional. Tak salah jurnalis Pakistan, Ahmed Rashid, menulis di New Yorker menyebut Malala sebagai “teladan tak hanya untuk anak-anak di wilayahnya, tetapi juga menjadi simbol dari perdamaian.”
0 komentar:
Posting Komentar