Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........

Teroris Poso Terus Mencari Kader

Rabu, 26 Desember 2012 | 0 komentar


Pengamat Intelejen Wawan Purwanto memprediksi, Daftar Pencarian Orang (DPO) nomor satu di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), Santoso akan terus memperkuat kelompoknya dengan merekrut orang baru untuk melakukan aksi teror.

Menurut Wawan, DPO tersebut tidak akan berhenti dengan kelompok yang ada saat ini. Terlebih dia menduga Santoso adalah dalang di balik penyerang yang menewaskan tiga anggota Brimob beberapa waktu lalu.

“Dia tidak akan tinggal diam, Santoso akan terus merekrut orang-orang baru untuk dia ajak dalam melakukan aksi,” jelas Wawan saat dihubungi Sindonews, Senin (24/12/2012).

Wawan menjelaskan, dia butuh penanganan khusus dari Polri untuk mengentaskan kasus tersebut, salah satunya ialah dengan berkoordinasi dan meminta bantuan dari aparat TNI.

“Perlu penanganan khusus untuk tidak teroris ini dan yang ada di Poso,” ucapnya.

Menurutnya, dengan tambahan personel dari TNI, maka tugas polisi sebaga penjaga keamanan akan terbantu dengan kemampuan TNI yang biasa terlatih untuk proses peperangan.

“Maka ada juga back up dari TNI untuk bisa mendukung dan mereka sudah biasa bertempur dan Polri sudah melatih keamanan dan kemananan, jadi keduanya biasa saling sinergi untuk menyelesaikan kasus ini,” tukasnya.

Menilik Toleransi Antarumat Beragama melalui Tata Kota

| 0 komentar


Dalam kehidupan berbangsa yang diisi dengan berbagai macam perbedan sebagaimana di Indonesia, pola laku toleransi menjadi hal yang tidak bisa diabasikan. Dengan toleransi, kehidupan yang damai dalam sebuah perbedaan menjadi mungkin. Sebaliknya tanpa toleransi, ketegangan antar-kompenen bangsa akan menegang dan konflik yang dapat bermuara pada perpecahan nantinya menjadi keniscayaan.

Maka menjadi kewajiban bagi segenap warga negara untuk mendisseminasikan toleransi ke seluruh penjuru nusantara. Begitu banyak kawasan di Indonesia yang bisa dikatakan patut menjadi teladan dalam kehidupan yang bertoleransi. Salah satunya adalah di Kabupaten Bangka Barat yang tercerminkan pada tata kotanya.

Adalah di sudut kota Muntok, tepatnya di Kampung Tanjung, Kecamatan Muntok, toleransi antarumat beragama itu tampak.

“Yang menarik di sini adalah, Kelenteng Kong Fuk Miau dibangun tepat bersebelahan dengan masjid tertua di Bangka Barat, Masjid Jami,” kata penjaga kelenteng, So Chin Siong di Muntok.

So Chin Siong mengatakan, Kelenteng Kong Fuk Miau dan Masjid Jami telah berdiri berdampingan lebih dari 130 tahun. “Dan selama itulah kami saling mendukung, namun tidak mencampuri urusan keagamaan masing-masing,” kata So Chin Siong.

Dikatakan So Chin Siong, jika Masjid Jami sedang melaksanakan ibadah, maka Kelenteng akan rehat dari kegiatannya dan memberikan kesempatan bagi jemaah masjid untuk melakukan ibaadah.

“Biasanya yang sering bentrok adalah kegiatan latihan Barongsai dan shalat Jumat, jadi setiap jadwal shalat, kami rehat dulu,” katanya.

Kelenteng Kong Fuk Miau dibangun oleh orang-orang China dari suku Kuantang dan Fu Kien yang telah lama menetap di Muntok sejak 1820, membuatnya menjadi kelenteng pertama di Muntok.

Kompleks Kelenteng terdiri dari tiga buah bangunan dengan bangunan utama berada di tengah. Bangunan utama memiliki atap berbentuk pelana, sedangkan komponen lain adalah gapura utama, pagar keliling, halaman, pagoda dan arca Singa. Setiap pagi dan sore hari pada pukul lima, So Chin Siong, sang penjaga kelenteng akan memukul bedug sebanyak 36 kali.

Awas, Kini Teroris Lebih Berbaur dengan Masyarakat

| 0 komentar


Beberapa hari terakhir kondisi Poso kembali dihubungkan dengan berbagai macam peristiwa terorisme. Meskipun keadaan belum mencapai level gawat, namun tetap saja hal ini patut diwaspadai bersama, baik pemerintah dan masyarakat, mengingat sebagaimana diketahui Poso memiliki sejarah konflik berdarah yang mencederai kehidupan seluruh warga Indonesia.

Terlebih lagi menurut Kapolri Jenderal Timur Pradopo para terduga teroris sekarang ini sengaja membaurkan diri dengan masyarakat setempat. Suatu strategi yang sangat membahayakan, karena bisa-bisa masyarakat terprovokasi oleh musuh dalam selimut ini untuk melakukan aksi terorisme.

Keadaan itu membuat aparat keamanan memutar otak untuk menangkal strategi para teroris tersebut. Polisi sangat berharap masyarakat dapat memilah mana yang baik dan membahayakan bagi kehidupan masyarakat.

“Agar masyarakat bisa memisahkan, memilahkan yang harus ditindak secara hukum bukan melindungi. Karena itu merugikan orang lain,” kata Wakapolri, Komjen Pol Nanan Sukarna menambahkan.

Terakhir, tepat di hari natal ditemukan bom dalam bentuk laptop di Pos terpadu Polisi Depan Pasar Sentral Poso. Beruntung bom tersebut berhasil diledakan tim Jibom Gegana. Dari laptop tersebut positif detonator dan timer dengan waktu ledak pukul 18.00 WIT. 

TNI Perlu Dilibatkan Memberantas Teroris

| 1 komentar


Hingga saat ini keberadaan dan sepak terjang pelaku aksi teror di Indonesia dinilai sudah mengkhawatirkan. Tentara Negara Indonesia (TNI) pun dinilai perlu terlibat dalam pemberantasan terorisme.

“Jadi perlu adanya undang-undang yang mengatur peran TNI dalam menangulangi terorisme,” kata anggota Komisi I DPR RI Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, Rabu (26/12/2012).

Ia mengatakan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme bersama kepolisian memang tidak semua pihak setuju. Namun paling tidak, kata dia TNI dan kepolisian dapat bekerja sama mengefektifkan pemberantasan terorisme.

Pengamat terorisme Mardigu Wowiek Prasantyo, mengatakan pentingnya kerjasama antara TNI dan kepolisian dalam pemberantasan terorisme. Menurutnya terorisme termasuk kejahatan luar biasa karena itu penanganannya juga perlu yang luar biasa.

“Kepolisian dapat bekerjasama pasukan Den-81 alias Detasemen Penanggulangan Teror (Gultor) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dalam mengatasi gerakan teroris, seperti di Poso. Kita tahu bahwa pasukan Den-81 itu lengkap dan mengenal medan, berbeda dengan polisi. Lagi pula ini kan extra crime, jadi perlu penanganan ekstra juga,” ujarnya.

Radikalisme Merusak Islam dan Indonesia

| 0 komentar


Radikalisme dalam bentuk teror merusak nama Islam dan Indonesia di mata dunia internasional. Karena itu, tidak ada gunanya melakukan teror, baik di Natal dan Tahun Baru saat ini atau di waktu lain.

Pernyataan tersebut ditegaskan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siraj. Menurut KH Said di tengah perayaan Natal dan Tahun Baru 2013 penting menjalankan prinsip toleransi.

“Radikalisme, terutama dalam bentuk aksi teror, dapat merusak citra Indonesia yang sudah sejak lama dikenal sebagai bangsa yang plural, namun tetap dapat hidup berdampingan dengan baik. Indonesia di mata internasional dikenal sebagai bangsa yang bisa menerapkan toleransi dengan baik. Aksi-aksi radikalisme, terorisme, atau yang sejenisnya, akan menjadikan nama Indonesia rusak,” tegas Kiai Said, Selasa (25/12/2012).

Kiai Said meminta kepolisian dan TNI untuk saling bersinergi menjalankan tugasnya dengan baik. Masyarakat pun diminta ikut berpartisipasi menciptakan keamanan, melalui perilaku yang tidak memancing timbulnya kerawanan.

“Terciptanya keamanan tugas kita bersama, termasuk masyarakat sipil yang tidak bergabung di ormas juga harus bisa menciptakan rasa aman,” kata Kiai Said.

Hanya Orang Bodoh yang Mau Jadi Martir Bom

Minggu, 16 Desember 2012 | 0 komentar


Pemilihan diksi atau istilah-istilah yang melekat pada terorisme dalam peliputan media kerap memberi dampak yang sangat fatal terhadap pemahaman generasi muda. Misalnya, media mengutip statemen bahwa para pelaku bom bunuh diri adalah mujahid. Tentu secara tidak sadar, publik mengasumsikan Nurdin M Top dan Imam Samudra mujahid, padahal di dalam Islam yang disebut mujahid adalah orang yang paling mulia karena membela agama, bukan orang yang melakukan pengeboman atau bom bunuh diri.

“Menyebut para pelaku pengeboman itu dengan sebutan mujahid, seolah-olah mereka telah dibenarkan sebagai seorang mujahid,” kata Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) Nasir Abas pada Lazuarsi Birru.

Efek informasi seperti ini (pemilihan diksi, red), kata Nasir, ketika generasi muda ketemu dengan para pelaku bom, mereka beranggapan bahwa inilah mujahid seperti yang dibilang oleh media tertentu. Itu sebabnya para teroris selalu mendapat bantuan.

Menurut dia, terorisme tidak akan pernah eksis tanpa bantuan dari pihak lain, baik secara langsung ataupun tidak langsung. “Nurdin itu warga Malaysia yang tidak mengenal Indonesia, yang tidak mengerti daerah-daerah Indonesia. Kalau tanpa ada pendukung yang membantu dan membelanya, tidak mungkin terjadi,” ungkapnya.

Mantan anggota Jamaah Islamiyah ini mengatakan, istilah bom bunuh diri sebenarnya juga membuat para pelaku bangga. Karena ada kesan sebagai seorang pemberani. Seharusnya, lanjut Nasir, yang pantas adalah bom manusia. “Kalau kita mengatakan bom yang dipasang di mobil bom mobil, bom yang dipasang dibuku adalah bom buku. Mengapa kita tidak menyebut bom yang dipasang di manusia dengan sebutan bom manusia?” demikian Nasir menjelaskan.

Sebab menurut Nasir, dengan menyebut bom manusia, ada kesan mereka dikorbankan oleh temannya sendiri yang menjadi wadah dari bom itu. Kesan ini harus dibentuk dalam pemahaman masyarakat dan publik. Disinilah peran media mewacanakan dan mengampanyakan istilah bom manusia itu, agar masyarakat atau remaja memahami bahwa bom bunuh diri itu dikorbankan, hanya dijadikan wadah dan alat.

“Seharusnya pertanyaannya bukan kenapa mereka berani menjadi bom bunuh diri, tapi kenapa mereka begitu bodoh menjadi wadah bom? Padahal teknis untuk meledakkan itu banyak cara tidak harus meledakkan tubuh orang,” kata dia.

Remaja Harus Steril dari Pengaruh Terorisme

| 0 komentar

Ka BNPT

Tindak pidana terorisme di Indonesia kian marak, ironisnya para pelaku tindakan keji tersebut didominasi remaja. Misalnya yang paling anyar adalah kasus Farhan Cs, pelaku teror di Solo pada Agustus 2012 yang lalu. Bahkan jauh sebelumnya, banyak remaja yang menjadi pelaku bom bunuh diri, seperti kasus yang dialami Dani Dwi Permana.

Kejadian ini merupakan bukti bahwa para pelaku teror sedang memakai modus baru, yakni merekrut anak-anak muda untuk dijadikan pelaku teror, bahkan bom bunuh diri. Kelompok teror menyasar remaja, karena masa remaja merupakan masa yang rentan, tanpa banyak pertimbangan, sehingga mudah dipengaruhi dan didoktrin.

Bahkan kelompok teror ini, tidak tanggung-tanggung mendoktrin para remaja dengan mengganti kata “teror” dengan kata “jihad”. Mereka mengatakan pada para remaja bahwa yang mereka lakukan bukanlah teror melainkan jihad. Berhati-hatilah dengan mudus operandi terorisme dalam melakukan rekrutmen seperti ini, khususnya para remaja yang masih labil, belum bisa mengorientasikan masa depannya.

Karena itu, agar tidak mudah terpengaruh dengan doktrin tersebut, maka remaja harus kritis terhadap input pengetahuan yang diterima, baik secara langsung lewat orang, maupun lewat buku bacaan, internet, dan selebaran.

I’dad Tak Harus dengan Latihan Perang

| 0 komentar

Miftah Faqih, Sekretaris Jenderal Robithoh Ma’ahid Islamiyah 

Penemuan lahan pelatihan teror di pegunungan Koronjobu, Tambarana, Poso, Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa kelompok radikal masih sangat aktif bergerak memersiapkan aksi. Lebih dari itu, tidak ada perubahan pemahaman di kalangan mereka mengenai perintah i’dad.

I’dad berarti persiapan. Dalam Alquran surat Al Anfal: 60, Allah memerintahkan umat Islam untuk bersiap menghadapi kaum kafir dengan “kekuatan” yang dimiliki umat. Ayat ini dikuatkan dengan hadis Nabi riwayat Muslim bahwa “kekuatan” itu adalah melempar (menembak).

Atas dasar itu, kelompok radikal yang berfantasi bahwa mereka sedang dijajah oleh pemerintah NKRI yang dianggap thaghut wajib menyiapkan diri (i’dad), agar suatu saat dapat melakukan perlawanan terhadap pemerintah dan lantas mendirikan Negara Islam. Implementasinya adalah dengan pelatihan militer seperti di Bukit Jalin Jantho Aceh yang terbongkar oleh polisi pada tahun 2010 dan penemuan lahan pelatihan teror di Poso Rabu (12/12/2012).

“Itu penafsiran yang ketinggalan zaman. Ayat dan hadis itu turun dalam situasi Nabi Muhammad Saw dan umat Islam sedang berperang dengan kelompok kafir. Sekarang Indonesia tidak sedang berperang dengan Negara mana pun. Kita memang diserbu oleh sistem ekonomi dan kebudayaan asing, tapi jika lantas membalasnya dengan teror bom, ya itu namanya orang frustasi,” demikian ungkap Miftah Faqih, Sekretaris Jenderal Robithoh Ma’ahid Islamiyah (Badan Otonom di bawah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang membidangi urusan Pondok Pesantren), kepada Lazuardi Birru, menanggapi implementasi i’dad dengan pelatihan militer.               

Dalam hemat Miftah, arti dasar kata i’dad adalah membangun persiapan diri. Dalam konteks kekinian, i’dad tidak harus dimaknai dengan pengandaian ada musuh fisik yang mengancam, tetapi lebih tepat dimaknai sebagai tantangan zaman.

“Maka pelaksanaan i’dad sekarang adalah dengan menyiapkan diri untuk bisa berkompetisi di era globalisasi. Bagaimana pemuda bisa menghadapi arus global tanpa kehilangan jatidiri dan karakter sebagai muslim Indonesia,” tandasnya.

Dalam kontek pondok pesantren, lanjut Miftah, i’dad adalah bagaimana para santri membekali diri dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh zamannya.

“Maka di pesantren sekurangnya ada 3 kurikulum wajib, yaitu kurikulum lokal pesantren di mana santri wajib menggali khazanah keilmuan Islam klasik, kemudian ada kurikulum praktis bermasyarakat supaya santri mampu berkiprah di ranah sosial, dan terakhir adalah ‘kurikulum pasar’ untuk membekali santri agar mampu bertahan di dunia luar,” terangnya.

Sementara perihal hadis yang menyatakan bahwa pelaksanaan i’dad tak lain harus dengan senjata, Miftah menegaskan bahwa senjata dalam konteks kekinian adalah seperangkat alat dan keterampilan untuk bisa menghadapi serbuan arus globalisasi.

“Sekarang alat yang dibutuhkan apa? Ya kecanggihan nalar pikir, kecerdasan membaca kebutuhan zaman, dan kemampuan menggunakan instrumen teknologi informasi. Bagi saya kata menembak dalam hadis tidak bisa dimaknai secara tekstual,” tandasnya.

“Ya ketinggalan zaman kalau seperti itu terus. Karena hadis Nabi dimaknai secara tekstual, jadilah muslim Indonesia pada pake jubah. Padahal Abu Jahal juga pakai jubah,” tutup Miftah berkelakar. 

Poso Hendak Dijadikan Arena “Jihad” Lagi?

| 0 komentar

Najib Azcapeneliti gerakan radikal Poso

Penemuan lahan pelatihan teroris di Poso dua hari lalu memicu kekhawatiran bahwa Poso sebagai dipersiapkan sebagai arena “jihad” lagi.

“Saya kira memang ada tanda-tanda yang mengarah ke sana,” ucap Najib Azca, peneliti gerakan radikal Poso, kepada Lazuardi Birru menjawab kemungkinan itu.

Poso, lanjut pengajar FISIP UGM Yogyakarta itu, memang diidentifikasi oleh sejumlah kelompok jihadis sebagai arena jihad yang tepat, lantaran adanya konflik yang masih sering muncul. Hal itu, menurut Najib, bisa menjadi alasan untuk memobilisasi banyak orang, seperti yang terjadi pada 1999-2001, untuk berperang di sana.

“Jika terjadi konflik komunal berbasis agama, maka ada alasan untuk melakukan mobilisasi. Nah, Poso lebih mudah untuk dijadikan sebagai medan kekerasan yang berkepanjangan lantaran secara geografis wilayahnya mendukung,” ungkap Najib yang menulis disertasi mengenai kehidupan eks kombatan konflik Poso dan Ambon.

Kota Poso, sambung dia, dikelilingi oleh kawasan perkebunan dan hutan yang cukup kondusif menjadi basis pertahanan maupun basis ekonomi kelompok teror. “Jadi sepertinya memang gagasan menjadikan Poso sebagai arena jihad itu masih hidup di beberapa kelompok kecil,” ujarnya.

Dari hasil observasinya di Poso, Najib menilai, individu-individu bekas simpatisan Jamaah Islamiyah (JI) masih tinggal di sana. Sebagian dari mereka membangun basis-basis kecil untuk reproduksi gerakan.

“Di sisi lain juga ada kelompok-kelompok sempalan lain yang terpecah dari induknya dulu seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang juga sedang membangun kekuatan. Mereka membangun basis-basis dakwah di beberapa tempat di Poso dan sekitarnya,” ujar Najib.

Namun kabar baiknya, demikian Najib, mayoritas masyarakat Poso sudah tidak ingin lagi kedamaian mereka terenggut oleh konflik. Sehingga beberapa provokasi kelompok teror tidak ditanggapi oleh mereka.

Pusat Antiterorisme Internasional Berdiri di UEA

| 0 komentar


Pusat Antiterorime Internasional, Haedayah, diluncurkan di sela pertemuan tingkat menteri Komite Koordinasi Ketiga dari Global Counter-Terrorism Forum (GCTF) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Jumat (14/12/2012).

Menteri Luar Negeri Marty M Natalegawa yang memimpin delegasi Indonesia dalam pertemuan itu mengatakan, institusi yang berkedudukan di Abu Dhabi tersebut akan menjadi wadah bagi pelatihan, dialog, kerja sama, dan pusat penelitian upaya melawan kekerasan ekstrimisme.

Selain itu, dalam siaran pers Kemenlu, pertemuan itu juga mengadopsi rancangan Rencana Aksi Perlindungan Korban Terorisme dan Praktik-Praktik Terbaik Pencegahan Tindak Penculikan untuk Mendapatkan Tebusan dan Penghindaran Keuntungan bagi Teroris.

Dalam pertemuan tersebut, Marty menyatakan harus ada langkah mengefektifkan sinergi antara Haedayah dengan organisasi regional lainnya untuk membuahkan kerangka kunci penanggulangan terorisme

“Kerja sama antara Pusat Antiterorisme Internasional yang baru didirikan dengan pusat serupa yang memiliki tujuan sama tidak hanya meningkatkan kapasitas masing-masing, tapi juga untuk menjamin sinergi penanggulangan ancaman terorisme,” tuturnya.

Dalam kaitan itu, lanjut Marty, Indonesia mengharapkan terjalinnya kerja sama antara Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation yang berlokasi di Semarang dengan Pusat Antiterorisme Internasional.

Sumber: Media Indonesia

Kejar Teroris, Polisi Kembali Sisir Gunung Biru Poso

Minggu, 18 November 2012 | 0 komentar


Kepolisian RI berencana mengerahkan pasukannya kembali untuk menyisir dan mengejar para tersangka teroris di wilayah Poso, Sulawesi Selatan. Penyisiran ini juga mengarah ke Gunung Biru yang diduga sebagai tempat latihan dan persembunyian kelompok teroris.

“Penyisiran kemarin sempat berhenti. Pimpinan kami sedang mempertimbangkan situasi seperti saat ini untuk menggelar operasi lagi, “ kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Ajun Komisaris Besar Endy Sutendi.

Penyisiran ini terkait dengan dengan kasus penembakan senjata api oleh orang tak dikenal terhadap rumah dinas Kapolsek Poso Pesisir Utara Ajun Komisaris Nicklas Karauwan, 15 November 2012 lalu.

Menurut dia, polisi masih terus menyisir dan mengejar para pelaku teror di wilayah Sulawesi Selatan. Detasemen Khusus Anti Teror 88 Markas Besar Kepolisian RI, Polda Sulawesi Selatan, dan TNI bekerja sama untuk menangkap tersangka teroris yang menembak rumah dinas Nicklas di Poso Pesisir Utara dan tersangka teroris yang melempar bom pipa pada Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo.

Pada 11 November 2012 lalu, Syahrul dilempar bom dalam acara Hari Ulang Tahun Partai Golkar Sulawesi Selatan di depan Monumen Mandala. Penyerangan tersebut memang gagal karena bom pipa tidak meledak. Tapi pelaku, Awaluddin, berhasil ditangkap. Sedangkan dua orang tersangka yang menjadi rekan Awaluddin gagal ditangkap saat Densus menyergap di Desa Pammanjengan. Mereka melarikan diri ke arah Gunung Mocongloe. Pelaku yang menembak rumah dinas Nicklas juga belum terungkap. “Masih mencari, kita mengumpulkan informasi untuk mengungkap jaringannya,” kata Endy.

Menurut Endy, para pelaku penyerangan di dua tempat berbeda ini kemungkinan masih satu kelompok dengan para teroris di Gunung Biru atau Poso. Para pelaku ini diduga sempat melarikan diri pada saat polisi dan TNI memburu mereka setelah pembunuhan dua anggota Polsek Poso Pesisir pada awal Oktober 2012.

Sebagai langkah antisipasi, kata Endy, aparat keamanan terus merazia pada malam hari. Razia senjata tajam, senjata api, dan bahan peledak ini diharapkan dapat menekan para teroris untuk hadir di masyarakat dan menyerang.

Kapolri Ingatkan Bahaya Teroris Remaja

Jumat, 16 November 2012 | 0 komentar


Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo mengingatkan agar polisi mewaspadai perkembangan aksi terorisme yang melibatkan remaja. Hal itu dikatakannya saat memberikan sambutan dalam ulang tahun Korps Brigade Mobil Mabes Polri ke 67 di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, Rabu (14/11/2012).

“Aksi terorisme cukup signifikan melibatkan remaja merupakan faktor utama tantangan. Ideologi paham radikal masuk ke pemikiran anak muda, peran asimetris, namun mampu menimbulkan dampak yang besar,” ujar Kapolri seperti dilansir laman Media Indonesia.

Selain itu, lanjut Timur, sekarang kelompok separatis telah menguasai jaringan teknologi yang memudahkan mereka melakukan aksi separatisme. Karenanya, hal tersebut harus mendapat perhatian khusus dari Brimob.

“Kita juga dihadapkan isu pertambangan dan isu SARA yang kini marak dan menimbulkan indikasi aksi yang harus kita hadapi dengan profesional dan tangguh,” sambung Kapolri.

Oleh karena itu, untuk menghadapi hal-hal ini, Kapolri menyampaikan beberapa pesannya, termasuk menindak teroris dengan sigap. “Brimob dituntut siap mental dan raga untuk merespons cepat, untuk menanggulangi. Korps Brimob harus lebih humanis untuk menjaga keamanan lebih kondusif,” ujar Timur.

Resolusi Jihad, Penyemangat Membela Tanah Air

Minggu, 11 November 2012 | 0 komentar


Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, namun penjajah tetap saja merongrong kemerdekaan itu. Misalnya pada 26 Oktober 1945, tentara Inggris dan pasukan sewaannya kembali merongrong kedaulatan Indonesia di Surabaya.

Hal tersebut membuat para pejuang kemerdekaan dan masyarakat Indonesia kembali menggelorakan semangat perlawanan untuk melawan tentara penjajah tersebut. Akhirnya letusan perang terjadi karena upaya pasukan Inggris yang hendak mengambil kekuasaan nusantara setelah pendudukan Jepang runtuh.

Peristiwa di akhir Oktober hingga paruh awal November 1945, merupakan babak penting dalam sejarah pergolakan revolusi kemerdekaan Indonesia. Bentrokan yang melibatkan massa dalam jumlah besar terjadi di Surabaya pada 27, 28, 29 Oktober 1945. Bentrokan ini melibatkan pasukan Hizbullah, Sabilillah, dan pasukan lain melawan pasukan Inggris.

Bentrokan massa bersenjata akhirnya memuncak pada 10 November 1945. Sedikitnya 2000 pasukan terlatih Inggris tewas berikut Brigjend AWS. Mallaby, Komandan Pasukan Inggris. Banyaknya korban di pihak Inggris sebagai pasukan terlatih, membuat Inggris kehilangan muka di kalangan militer internasional. Hari dimana pertempuran sengit tersebut terjadi kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional RI, 10 November 1945. Tidak sedikit sejarawan yang mengatakan geliat perlawanan terhadap penjajah pada saat itu terinspirasi dan termotivasi dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama (NU).

Resolusi Jihad fi Sabilillah, sebuah putusan berisi sikap NU dalam mempertahankan NKRI yang baru dua bulan diproklamasikan dari penjajahan bangsa asing. Putusan Resolusi Jihad dirancang oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah 21 Oktober dan dibacakan oleh KH. Hasyim Asyari, Rois Akbar NU pada 22 Oktober 1945, hampir tiga minggu sebelum peristiwa Surabaya.

Menurut Mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Bondan Gunawan mengatakan, peran NU pada aksi perlawanan di Surabaya pada November 1945 sangat besar.

Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari saat itu dan disebarkan kepada para pejuang di Surabaya adalah penyemangat terbesar perlawanan. Hal tersebut diungkapkan Bondan di acara Talk Show menyambut Hari Pahlawan yang digelar GP Ansor di Surabaya, Kamis, 8/11/2012.

Menurut Bondan, Islam bertindak tegas dan keras dalam konteks melawan penindasan. “Islam itu keras dalam melawan penindasan. Tapi bukan keras membunuhi orang lain,” kata dia, seperti dikutip NU Online, 9/11/2012.

Peran NU lainnya terhadap pembangunan Indonesia, lanjut Bondan, yaitu saat awal-awal pembentukan negara. Ketika negara baru dibentuk, timbul perdebatan soal penetapan syariat Islam yang mulanya dimasukkan dalam butir Pancasila.

“KH Wahid Hasyim saat itu yang menyetujui agar tujuh kosa kata itu dihapus. Ini membuktikan betapa visionernya ulama NU dalam memandang bangsa yang dibentuk dari beda-beda suku dan darah ini,” ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Riadi Ngasiran. Menurut dia, berkat  lahirnya Resolusi Jihad yang dirumuskan NU, rakyat di seluruh lapisan, dan tentara memperoleh dukungan moral yang luar biasa melawan para penjajah.

“Bung Tomo selaku ketua Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), ketika memobilisasi kekuatan rakyat, beliau meminta dukungan spiritual dari Hadlratussyeikh Hasyim Asyari yang saat itu sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama,” tegasnya

Bung Tomo: Jihad Itu Defensif

| 0 komentar


10 November diperingati sebagai hari pahlawan nasional. 67 tahun silam, Surabaya, ibu kota Jawa Timur, berkecamuk pertempuran hebat antara rakyat Jawa Timur dengan pasukan sekutu yang ingin mengkolonisasi Indonesia selepas proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Sutomo, mantan pasukan PETA (Pembela Tanah Air) yang sangat disegani oleh kalangan aktivis pemuda, sejak akhir Oktober hingga pecah pertempuran 10 November terus menerus berorasi melalui Radio Pemancar Pemberontak Rakyat Indonesia. Setiap malam dengan berapi-api ia membakar semangat rakyat Surabaya dan sekitarnya untuk bersatu memertahankan kemerdekaan Indonesia.

Kemarahan rakyat Surabaya dipicu oleh kedatangan tentara Sekutu di Surabaya. Konfrontasi terus terjadi antara tentara sekutu dengan rakyat. Sementara di pihak lain Bung Tomo, yang terus berkonsultasi dengan tokoh-tokoh ulama Jawa Timur, khususnya pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari, mendapatkan legitimasi untuk melakukan perlawanan saat pengurus besar Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945 menelurkan resolusi jihad yang berbunyi;

“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja.”

Pasukan sekutu kian marah saat pemimpin mereka Brigjend Mallaby terbunuh dalam sebuah konfrontasi kecil. Jenderal E.C Mansergh yang menggantikan Mallaby lantas mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945 agar rakyat Surabaya menyerah pada tentara sekutu paling lambat 10 November 1945 pukul 06.00.

Menyikapi ultimatum tersebut, KH Hasyim Asy’ari yang saat itu berada di Surabaya, lantas mengubah isi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi lebih operasional yaitu “Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang  melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..”

Seruan jihad yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari itu dengan cepat menyebar ke berbagai daerah yang berjarak sekitar 94 km dari Surabaya seperti Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, dan bahkan ke daerah yang lebih jauh seperti Probolinggo, Jember, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Rembang, bahkan Cirebon.

Puncaknya, 10 November 1945 pagi, Bung Tomo dengan lantang menyerukan agar rakyat Surabaya tidak menyerah kepada tentara sekutu. Kendati demikian, Bung Tomo yang memahami betul aturan jihad, melarang rakyat Surabaya untuk menyerang lebih dulu. Bung Tomo mengerti betul bahwa karakter jihad dalam Islam adalah defensif.

Berikut petikan pidato Bung Tomo itu:

“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga.

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting! tetapi saya peringatkan sekali lagi jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka itu. Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.

Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! MERDEKA!!! “

Jihad Fi Sabilillah Memertahankan Kemerdekaan

| 0 komentar

Naskah resolusi jihad yang ditelurkan Nahdlatul Ulama

Para pendiri bangsa gelisah. Kemerdekaan yang baru dinikmati seumur jagung terancam. Pasukan sekutu yang diboncengi NICA datang ke bumi pertiwi dan berniat kembali mengkolonisasi Republik Indonesia yang sudah diproklamasikan kemerdekaannya pada Agustus 1945.

Pada Oktober 1945, pasukan sekutu mendarat di Surabaya dengan kapal Inggris Cumberland. “Bagaimana mungkin negara yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, belum memiliki kelengkapan negara termasuk tentara nasional, tiba-tiba harus menghadapi perang?” ujar penulis buku “Resolusi Jihad NU” Gugun El Guyanie saat acara bedah buku yang digelar Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur di Surabaya beberapa waktu lalu.

Tentara Nasional yang baru ditetapkan dalam sidang PPKI ketiga pada 22 Agustus 1945 dalam bentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dari pertimbangan itu, tindakan yang paling logis adalah membangkitkan perjuangan rakyat sipil yang sedang meluap semangatnya untuk mempertahankan Republik ini.

“Maka Presiden RI Soekarno mengirim utusan untuk meminta fatwa kepada Rais Akbar Nahdatul Ulama (NU) dan sekaligus pengasuh Ponpes Tebu Ireng Jombang K.H. Hasyim Asyari. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada K.H. Hasyim Asyari, apakah hukumanya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela Alquran?” ungkap Gugun berkisah.

Untuk menjawab pertanyaan Soekarno itu, Hasyim Asyari memerintah K.H. Wahab Hasbullah untuk menggelar rapat Konsul NU se-Jawa dan Madura di Surabaya pada 23 Oktober 1945.

“Hasyim Asyari dalam pertemuan itu mendeklarasikan `Jihad Fisabilillah` yang dikenal dengan `Resolusi Jihad`,” kata Gugun.

Resolusi Jihad itu menegaskan, kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan dan umat Islam terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Perjuangan tersebut adalah “jihad fi sabilillah” yang menjadi kewajiban bagi umat Muslim.

“Seruan tersebut akhirnya membangkitkan semangat para santri dan rakyat Jawa Timur yang berpuncak pada pertempuran 10 November 1945 yang menjadikan Surabaya banjir darah para pahlawan,” katanya.

Sedikitnya 6.000-16.000 pejuang di Surabaya gugur dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan yang dimulai sejaka 10 November 1945 hingga beberapa minggu kemudian. Oleh pemerintah, pemerintah menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan nasional.

Melalui Resolusi Jihad ini, lanjut Gugun, NU bersama-sama seluruh elemen rakyat bercita-cita membangun negeri menjadi negara merdeka yang demokratis-konstitusional.

Itulah implementasi jihad fi sibilillah yang sesungguhnya, bukan dengan aksi-aksi terorisme mutakhir yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan justru mengancam persatuan NKRI. 

Penanganan Terorisme Butuh Komitmen Bersama

Kamis, 01 November 2012 | 0 komentar


Sejak tahun 2002-2012 tercatat 800 terduga teroris telah ditangkap oleh aparat kepolisian. Bahkan sebagian besar dari mereka telah kembali ke masyarakat. Namun demikian, ancaman terorisme masih jauh dari kata selesai.

Pekan kemarin, Sabtu, 27/10/2012, aparat kepolisian kembali meringkus 11 tersangka teroris yang diduga akan melakukan aksi berutalnya di beberapa tempat. Kelompok ini disinyalir merupakan kelompok baru. Dan yang paling mutakhir, aparat kepolisian juga meringkus tiga orang terduga teroris di Poso, Rabu, 31/10/2012.

Fenomena tersebut merupakan fakta bahwa kelomok teroris terus melakukan regenerasi. Jika dulu para dalang terorisme adalah mantan kombatan di daerah konflik, tapi teroris mutakhir adalah orang-orang yang belajar dari kelompok-kelompok pengajian radikal yang belajar merakit bom dari buku-buku dan internet.

Sasaran aksi mereka juga mulai berubah. Kalau pada awalnya mereka menyasar fasilitas-fasilitas publik dan simbol Barat, saat ini kelompok teroris mulai menyasar aparat kepolisian, seperti yang terjadi di Solo dan Poso. Bahkan, jaringan teroris Ceribon melakukan aksinya di Masjid Az Zikra, Markas Polres Cirebon, pada 2011 lalu.

Karena itu, perlu upaya yang serius untuk menanggulangi aksi berutal kelompok teroris ini. Upaya penanggulangan aksi kejahatan terorisme itu bukan hanya tugas aparat kepolisian, melainkan tugas semua pihak. Dalam konteks ini, ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan ormas keagamaan lainnya harus berperan aktif. Misalnya dengan cara melakukan dialog dan komunikasi intensif antarkelompok keagamaan yang ada.

“Dialog antarkelompok dalam Islam itu penting untuk membuka pintu perdamaian. Kemudian harus diciptakan situasi kondusif untuk mendorong penegakan hukum yang adil,” kata Eko Prasetyo, Direktur Program Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pusham) UII Yogyakarta pada Lazuardi Birru.

Menurut dia, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk meminimalisir potensi terorisme di Tanah Air, antara lain: Pertama, upaya dialog itu harus lebih diprioritaskan. Pemerintah harus bersikap aktif dalam hal ini. Demikian pula dengan Majelis Ulama Indonesia dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan seperti NU, dan Muhammadiyah. Kelompok-kelompok sipil tersebut harus aktif menyapa kelompok-kelompok radikal yang berpotensi melakukan aksi teror.

Kedua, pemerintah harus memberikan proses peradilan kepada terdakwa-terdakwa terorisme secara adil. Hak hukum terdakwa tetap harus dilindungi, misalnya berhak ditemani oleh pengacara.

Ketiga, semua tindakan aparat yang sewenang-wenang seperti intimidasi, apalagi salah tembak itu tetap harus memeroleh proses hukum sebagai pendisiplinan. “Intinya upaya penanganan terorisme tidak bisa hanya dengan cara-cara represif tetapi harus lebih mengedepankan soft approach (pendekatan halus),” pungkasnya.

Banyaknya Ayat Al Qur’an Tentang Pesan Etis Bukti Islam Anti-Kekerasan

| 0 komentar


Aksi-aksi kekerasan yang terjadi di negeri ini masih kerap tertangkap radar media. Berbagai dalih disematkan untuk melegitimasi tindak kekerasan tersebut. Dan yang paling ironis tentu saja adalah aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Agama yang seharusnya membawa kerahmatan seketika bopeng wajahnya akibat tercemar oleh anarkisme, radikalisme dan terorisme.

Setiap agama pasti membawa pesan damai. Terlebih Islam. dari asal katanya saja agama yang dibawa Muhammad ini bermakna “damai”. Menurut Ustad H. Bobby Herwibowo, Lc Nabi Muhammad sendiri sesungguhnya diutus untuk mendidik akhlak manusia sehingga berakhlak karimah.

Tentang pentingnya akhlak dalam Islam, Dr. H. Asep Usman Ismail menyatakan bahwa Islam memiliki tiga pilar. Yang pertama soal keyakinan, aqidah. Pilar yang kedua yaitu syari’ah dan pilar yang terakhir adalah akhlak. Yang menariknya, dari total ayat yang ada di al Qur’an, pilar ketiga yakni akhlak mendapat porsi penjelasan yang lebih banyak dari kedua pilar Islam lainnya.

“Di dalam al Qur’an ternyata kedua pilar ini baru 25% dari pesan al Qur’an. Sebab ayat-ayat tentang syari’ah itu sekitar 550 ayat, ayat-ayat soal keyakinan atau aqidah sekitar 950 ayat. Sementara ayat dalam al Qur’an itu 6.232 ayat. Dari sini tergambar bahwa esensi Islam itu dari akhlak” dedah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

BNPT: radikalisme akar terorisme

| 0 komentar


Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai menyebutkan ideologi radikalisme merupakan akar dari terorisme yang menyebabkan gerakan teror terus tumbuh di masyarakat.

"Ideologi radikalisme ini akar dari terorisme, pemahaman yang sempit mengenai sebuah keyakinan, agama, menciptakan konflik sehingga melakukan teror," katanya dalam acara simulasi latihan deteksi dan investigasi penanggulangan serangan teroris di Bogor, Rabu.

Dalam acara di Penyimpanan dan Pengolahan Air minum PDAM Tirta Pakuan, Cipaku, Kota Bogor itu Mbai mengatakan, terorisme masih ada dan aktif serta masih menjadi ancaman bagi negara.

Kelompok teroris pun cukup banyak. Karakteristik teroris semakin berani, polisi ikut menjadi sasaran. 

Menurut Mbai, upaya pencegahan teroris harus terus dilakukan secara simultan dengan melibatkan semua pihak.

"Peran masyarakat banyak diperlukan. Masyarakat diingatkan untuk tidak terpengaruh dengan idiologi radikal, pemahaman agama harus diperluas. Masyarakat harus berperan dalam mencegah masuknya pemahaman radikal," katanya.

Mbai mengatakan, ancaman teroris masih akan terus ada. Upaya perekrutan pada kaum muda terus dilakukan. 

"Semua pihak berperan, masyarakat harus bisa mendeteksi dini upaya perekrutan ini. Terorisme di latar belakangi ideologoi radikal, pemahaman sempit terhadap ajaran agama. Kita harus berperan disitu," katanya.

Mbai menyebutkan, peran pemerintah, masyarakat, untuk tidak membesarkan paham radikal harus dilakukan secara simultan.

"Rantai teroris bisa dicegah. Kompor-kompor (radikalisme) yang harus dipadamkan," katanya.

Serangan teroris, lanjut Mbai, tidak dapat dipastikan, kapan, dimana dan dengan cara apa. Meskipun deteksi dan kegiatan intelijen lainnya tetap dilakukan, namun serangan teroris dapat terjadi setiap waktu dan tempat.

"Karena itu, kesiap-siagaan dalam menghadapi serangan teroris harus terus ditingkatkan melalui berbagai bentuk pelatihan," katanya.

Mbai menambahkan, tidak ada opsi selain kesiap-siagaan kalau tidak ingin negara tidak boleh kalah dari teroris.

Simulasi penanggulanga teroris dihadiri sejumlah tamu negara di antaranya perwakilan Polisi Australia, Canada, Thailand, dan Philipina. 

Sumber: antaranews

Unej akui terduga teroris Bogor mantan mahasiswanya

| 0 komentar


Pimpinan Universitas Jember mengakui terduga teroris bernama Miko Yosiko yang ditangkap tim Densus 88 di Bogor pernah kuliah di kampus itu.

"Memang benar Miko adalah mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Unej angkatan tahun 1998, namun dia tidak melanjutkan kuliahnya hingga selesai," kata Kepala Humas dan Protokol Unej Rokhani di Jember, Rabu (31/10) malam.

Anggota tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri melakukan penggerebekan sebuah rumah kos dan mengamankan dua orang yang diduga teroris di Jalan Raya Ciapus, Kampung Cikaret RT 1/RW 2, Kelurahan Cikaret, Kota Bogor, Sabtu (27/10). 

Kedua orang yang diamankan terdiri seorang laki-laki yang diketahui bernama Miko Yosiko dan seorang perempuan yang mengenakan cadar bernama Rubiah yang diketahui adalah istri Miko.

Menurut Rokhani, Miko sering mengajukan cuti dan tidak aktif kuliah beberapa kali selama mengenyam pendidikan di Unej sejak tahun 1999 hingga 2004, kemudian mahasiswa itu dinyatakan keluar dari FTP Unej pada tahun 2005.

"Dalam catatan akademis FTP Unej, Miko dinyatakan sebagai mahasiswa DO (Drop Out) dengan IPK terakhir 2,56 dan hanya menempuh 146 SKS pada semester ganjil tahun ajaran 2004-2005," katanya.

Pihak Unej, lanjut dia, menyayangkan tindakan yang dilakukan Miko sebagai terduga teroris karena perguruan tinggi negeri yang dikenal dengan Kampus Tegalboto itu tidak pernah mengajarkan mata kuliah kekerasan.

"Kami tidak tahu aktivitas Miko ikut organisasi apa di luar kuliah karena kami sulit memantau aktivitas atau kegiatan mahasiswa di luar jadwal kuliah," paparnya.

Selain Miko, terduga teroris yang ditangkap tim Densus 88 di Madiun yakni Agus Anton Figian juga alumnus Unej dari Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yang lulus tahun 2004.

Identitas Empat Terduga Teroris Poso Telah Diketahui

Rabu, 31 Oktober 2012 | 0 komentar


Empat dari enam terduga teroris Poso yang diringkus dalam penggerebekkan polisi bersama anggota TNI di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Sulawesi Tengah, telah diketahui identitasnya.

Kapolda Sulteng, Brigjen Pol Dewa Parsana di Mapolres Poso, menyebutkan, keempat terduga teroris itu adalah Jippo alias Ibeng, tewas tertembak. Muhammad alias Rahmad dan Cecep alias Natsir tertangkap dalam kondisi luka karena tertembak serta Farhan ditangkap tanpa cedera, sedangkan dua lainnya belum diumumkan nama mereka.

Kapolda Dewa Parsana belum memberikan penjelasan mengenai jaringan atau kelompok mereka serta peran masing-masing karena masih dalam pemeriksaan.

Sementara jenazah Jippo alias Ibeng yang dilaporkan mengalami luka tembak di kepala dan paha, saat ini telah berada di Bandara Mutiara Palu untuk menunggu pesawat yang akan membawanya ke Jakarta untuk diotopsi di RS Polri setelah disimpan sementara di RSU Bhayangkara Palu.

Sedangkan Muhammad alias Rahmad dan Cecep alias Natsir yang terluka, tampaknya sangat dirahasiakan keberadaan mereka, namun ada informasi bahwa mereka masih menjalani perawatan di RSU Bhayangkara Palu.

Dakwah Islam Tekankan Dialog bukan Kekerasan

Selasa, 23 Oktober 2012 | 0 komentar


Kebhinekaan bangsa ini tetap harus dijaga. Karena setiap saat sikap intoleran yang berujung pada kekerasan terus saja membayangi. Apabila dipandang sebagai negatif, tentu bisa dikatakan biang keladinya adalah perbedaan. Namun tidak jika perbedaan dipandang sebagai fitrah dan sunatullah.

Sejatinya sikap ekstrem dalam beragama dan pemaksaan kebenaran yang makin sering muncul saat kini terjadi lantaran salah dalam memahami perbedaan. Kalangan intoleran melupakan bahwa negara dan bangsa Indonesia lahir dari 17.000 pulau, banyak keyakinan dan cara pandang. Ini adalah fakta yang tak mungkin dielak atau bisa disebut dengan fitrah dan sunatullah. Pernyataan tersebut terlontar dari Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Nusron Wahid.

Dan rasa-rasanya tidak ada sistem politik yang dapat menampung perbedaan sedemikian rupa selain demokrasi. Maka menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dengan prinsip menghargai hak manusia untuk berpendapat dan beribadah merupakan keharusan. Pada sisi ini demokrasi sejalan dengan semangat kebhinekaan bangsa. “Ketidaksetujuan dan perselisihan mesti diselesaikan dengan dialog dan semangat kebersamaan,” demikian tutur Nusron.

Kekerasan yang mengatasnamakan agama sejatinya tidak memiliki pendasaran yang kuat dalam Islam. Jalan damai selalu diajarkan Islam. Apalagi Islam juga tidak pernah mengajarkan untuk memaksakan kehendak pada orang lain. Maka menutup ruang dialog dan diskusi merupakan bencana besar, sama saja menutup pendapat setiap orang untuk saling berbagi. Dialog adalah cara yang diajarkan Islam dalam berdakwah. [

Aku Malala, Aku Anti-Taliban

Senin, 22 Oktober 2012 | 0 komentar


Adalah Malala Yousafzai, aktivis remaja berusia 14 tahun korban penembakan Taliban. Malala mulai muncul di hadapan publik sejak usia 11 tahun. Saat itu ia menulis di blog BBB berbahasa urdu, dengan sebuah nama pena, untuk melawan perlakuan tidak sewenang-wenang kelompok Taliban di kampung halamannya.

Koran India, The Hindu, melaporkan, pasca kejadian penembakan terhadap Malala, banyak remaja perempuan di Afghanistan mengatakan “Saya Malala”. Ini sebagai bentuk tantangan terhadap pernyataan jubir Taliban, Ihsanullah Ihsan, yang berjanji akan membunuh Malala jika masih hidup.

Taliban, kelompok teroris bentukan AS saat perang melawan pengaruh Soviet, melarang anak-anak perempuan memasuki sekolah. Bagi mereka, perempuan bersekolah itu merupakan simbol kebudayaan barat.

Tak sedikit perempuan, termasuk anak-anak, menjadi korban kebrutalan Taliban. Terkadang, dalam urusan seperti berpakaian, Taliban mengatur mana yang pantas dan tidak pantas dikenakan oleh perempuan. Taliban melarang baju warna-warni.

Malala bersuara keras menentang semua itu. Tak hanya di blog, ia aktif berkampanye untuk memperjuangkan hak perempuan atas pendidikan. Ia melakukan itu di kampung halamannya, Mingora, lembah Swat, Pakistan Utara, sebuah daerah yang dikontrol Taliban sejak tahun 2007 hingga sekarang.

Sejak Januari 2009, Taliban menutup sekolah-sekolah dan melarang perempuan bersekolah. Tetapi anak-anak perempuan di lemba Swat tak takut. Mereka tetap memilih pergi ke sekolah. Ini berkat kampanye terus-menerus dari Malala.

Pada 9 Oktober lalu, saat Malala Yousafzai bersama dua rekannya, Shazia Ramzan and Kainat Ahmed, di dalam sebuah bus sepulang dari sekolah, pasukan bersenjata Taliban menembaknya dalam jarak dekat. Peluru Taliban bersarang di leher dan kepalanya. Tembakan teroris juga melukai dua kawannya yang lain.

Saat itu, seperti dituturkan kawannya yang melihat kejadian, kelompok Taliban menghentikan bus yang ditumpangi Malala. Ia menanyakan siapa yang bernama “Malala Yousafzai”. Tak satupun diantara rekan Malala yang menjawab atau menunjuk. Tembakan jarak dekat pun menyalak.

Saat ini dukungan terhadap pun terus berdatangan. Tak hanya dukungan dari rakyat di negerinya, Pakistan, tetapi juga dukungan masyarakat internasional. Tak salah jurnalis Pakistan, Ahmed Rashid, menulis di New Yorker menyebut Malala sebagai “teladan tak hanya untuk anak-anak di wilayahnya, tetapi juga menjadi simbol dari perdamaian.” 

Menkopolhukam Kecam Pelaku Bom Poso

| 0 komentar


Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengecam pelaku peledakan bom di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng). Ia memerintahkan aparat keamanan menangkap pelakunya. “Ya betul (ada peledakan bom di Poso). Insiden ini sangat disesalkan dan saya kecam keras pelaku tindakan yang sangat tidak terpuji ini,” kata Djoko, seperti dilansir Kompas.com, Senin, 22/10/2012.

Seperti diberitakan, bom meledak di dekat pos polisi lalu lintas di Poso, Senin pagi, pukul 06.15 waktu setempat. Kejadian ini mengakibatkan tiga orang luka parah. Aparat keamanan masih menyelidiki kejadian ini. “Aparat keamanan akan segera mencari dan menangkap para pelaku kejahatan ini,” ungkapnya.

Ia juga mengimbau warga Poso tetap tenang dan dapat menahan diri terhadap provokasi-provokasi yang tidak baik ini. “Peristiwa itu sangat disesalkan. Tidak ada dalil pembenaran terhadap tindakan yang tidak berperikemanusiaan ini,” imbuhnya seperti dilansir Inilah.com, 22/10/2012.

Menurut dia, aksi itu tidak dapat ditolerir dan harus segera diambil tindakan tegas. Djoko mendesak aparat kepolisian segera menangkap para pelaku teror yang sudah meresahkan masyarakat itu. “Pelakunya harus segera ditangkap dan diadili,” pungkasnya.

Radikalisasi Muslim Indonesia Bersumber dari Pengaruh Luar

| 0 komentar


Banyak pakar yang mentesiskan bahwa sejatinya Islam yang dipeluk masyarakat Indonesia bercorak moderat dan damai. Namun kehadiran aktor-aktor terorisme yang berasal dari nusantara belakangan ini mencuatkan tanya atas tesis tersebut. Beberapa pernyataan mencoba menjawab dengan mengatakan bahwa paham ke-Islaman radikal dan teror diakibatkan dari injeksi dan pengaruh dari luar.

Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj salah satu aliran Islam asing yang turut terlibat dalam proses radikalisasi muslim Indonesia adalah Wahabi. Bahkan pada titik tertentu Ajaran Wahabi bisa mendorong orang untuk melakukan aksi-aksi terorisme. Namun menurut Kyai Siad Aqil, hal ini bukan berarti bahwa Wahabi adalah teroris.

“Saya tidak pernah mengatakan Wahabi teroris, banyak orang salah paham. Tapi doktrin, ajaran Wahabi dapat mendorong anak-anak muda menjadi teroris. Karena ketika mereka megatakan tahlilan musyrik, haul dan istighosah bidah, musyrik, dan ini-itu musyrik. Jadi ajaran Wahabi itu bagi anak-anak muda berbahaya” tutur Said Aqil.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Indonesia beberapa lembaga atau yayasan pendidikan di Indonesia didanai oleh masyarakat Saudi beraliran Wahabi. Namun meskipun Wahabi adalah aliran Islam yang mendapat legitimasi Pemerintah Arab Saudi, bukan berarti dana Wahabi tersebut adalah dana pemerintah Arab Saudi.

“Beberapa lembaga atau yayasan pendidikan di Indonesia didanai oleh masyarakat Saudi beraliran Wahabi, Ingat, bukan pemerintah Arab Saudi. Dana dari masyarakat membiayai pesantren baru muncul, di antaranya; Asshofwah, Assunnah, Al Fitroh, Annida. Mereka ada di Kebon Nanas, Lenteng Agung, Jakarta, Sukabumi, Bogor, Jember, Surabaya, Cirebon, Lampung dan Mataram” ungkap Ketua PBNU saat ini. 
 
© Copyright 2010-2011 TANAH KHATULISTIWA All Rights Reserved.
Template Design by Purjianto | Published by script blogger | Powered by Blogger.com.