10 November diperingati sebagai hari pahlawan nasional. 67 tahun silam, Surabaya, ibu kota Jawa Timur, berkecamuk pertempuran hebat antara rakyat Jawa Timur dengan pasukan sekutu yang ingin mengkolonisasi Indonesia selepas proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Sutomo, mantan pasukan PETA (Pembela Tanah Air) yang sangat disegani oleh kalangan aktivis pemuda, sejak akhir Oktober hingga pecah pertempuran 10 November terus menerus berorasi melalui Radio Pemancar Pemberontak Rakyat Indonesia. Setiap malam dengan berapi-api ia membakar semangat rakyat Surabaya dan sekitarnya untuk bersatu memertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kemarahan rakyat Surabaya dipicu oleh kedatangan tentara Sekutu di Surabaya. Konfrontasi terus terjadi antara tentara sekutu dengan rakyat. Sementara di pihak lain Bung Tomo, yang terus berkonsultasi dengan tokoh-tokoh ulama Jawa Timur, khususnya pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari, mendapatkan legitimasi untuk melakukan perlawanan saat pengurus besar Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945 menelurkan resolusi jihad yang berbunyi;
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja.”
Pasukan sekutu kian marah saat pemimpin mereka Brigjend Mallaby terbunuh dalam sebuah konfrontasi kecil. Jenderal E.C Mansergh yang menggantikan Mallaby lantas mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945 agar rakyat Surabaya menyerah pada tentara sekutu paling lambat 10 November 1945 pukul 06.00.
Menyikapi ultimatum tersebut, KH Hasyim Asy’ari yang saat itu berada di Surabaya, lantas mengubah isi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi lebih operasional yaitu “Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..”
Seruan jihad yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari itu dengan cepat menyebar ke berbagai daerah yang berjarak sekitar 94 km dari Surabaya seperti Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, dan bahkan ke daerah yang lebih jauh seperti Probolinggo, Jember, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Rembang, bahkan Cirebon.
Puncaknya, 10 November 1945 pagi, Bung Tomo dengan lantang menyerukan agar rakyat Surabaya tidak menyerah kepada tentara sekutu. Kendati demikian, Bung Tomo yang memahami betul aturan jihad, melarang rakyat Surabaya untuk menyerang lebih dulu. Bung Tomo mengerti betul bahwa karakter jihad dalam Islam adalah defensif.
Berikut petikan pidato Bung Tomo itu:
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga.
Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting! tetapi saya peringatkan sekali lagi jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka itu. Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! MERDEKA!!! “