Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........

Kejar Teroris, Polisi Kembali Sisir Gunung Biru Poso

Minggu, 18 November 2012 | 0 komentar


Kepolisian RI berencana mengerahkan pasukannya kembali untuk menyisir dan mengejar para tersangka teroris di wilayah Poso, Sulawesi Selatan. Penyisiran ini juga mengarah ke Gunung Biru yang diduga sebagai tempat latihan dan persembunyian kelompok teroris.

“Penyisiran kemarin sempat berhenti. Pimpinan kami sedang mempertimbangkan situasi seperti saat ini untuk menggelar operasi lagi, “ kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Ajun Komisaris Besar Endy Sutendi.

Penyisiran ini terkait dengan dengan kasus penembakan senjata api oleh orang tak dikenal terhadap rumah dinas Kapolsek Poso Pesisir Utara Ajun Komisaris Nicklas Karauwan, 15 November 2012 lalu.

Menurut dia, polisi masih terus menyisir dan mengejar para pelaku teror di wilayah Sulawesi Selatan. Detasemen Khusus Anti Teror 88 Markas Besar Kepolisian RI, Polda Sulawesi Selatan, dan TNI bekerja sama untuk menangkap tersangka teroris yang menembak rumah dinas Nicklas di Poso Pesisir Utara dan tersangka teroris yang melempar bom pipa pada Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo.

Pada 11 November 2012 lalu, Syahrul dilempar bom dalam acara Hari Ulang Tahun Partai Golkar Sulawesi Selatan di depan Monumen Mandala. Penyerangan tersebut memang gagal karena bom pipa tidak meledak. Tapi pelaku, Awaluddin, berhasil ditangkap. Sedangkan dua orang tersangka yang menjadi rekan Awaluddin gagal ditangkap saat Densus menyergap di Desa Pammanjengan. Mereka melarikan diri ke arah Gunung Mocongloe. Pelaku yang menembak rumah dinas Nicklas juga belum terungkap. “Masih mencari, kita mengumpulkan informasi untuk mengungkap jaringannya,” kata Endy.

Menurut Endy, para pelaku penyerangan di dua tempat berbeda ini kemungkinan masih satu kelompok dengan para teroris di Gunung Biru atau Poso. Para pelaku ini diduga sempat melarikan diri pada saat polisi dan TNI memburu mereka setelah pembunuhan dua anggota Polsek Poso Pesisir pada awal Oktober 2012.

Sebagai langkah antisipasi, kata Endy, aparat keamanan terus merazia pada malam hari. Razia senjata tajam, senjata api, dan bahan peledak ini diharapkan dapat menekan para teroris untuk hadir di masyarakat dan menyerang.

Kapolri Ingatkan Bahaya Teroris Remaja

Jumat, 16 November 2012 | 0 komentar


Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo mengingatkan agar polisi mewaspadai perkembangan aksi terorisme yang melibatkan remaja. Hal itu dikatakannya saat memberikan sambutan dalam ulang tahun Korps Brigade Mobil Mabes Polri ke 67 di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, Rabu (14/11/2012).

“Aksi terorisme cukup signifikan melibatkan remaja merupakan faktor utama tantangan. Ideologi paham radikal masuk ke pemikiran anak muda, peran asimetris, namun mampu menimbulkan dampak yang besar,” ujar Kapolri seperti dilansir laman Media Indonesia.

Selain itu, lanjut Timur, sekarang kelompok separatis telah menguasai jaringan teknologi yang memudahkan mereka melakukan aksi separatisme. Karenanya, hal tersebut harus mendapat perhatian khusus dari Brimob.

“Kita juga dihadapkan isu pertambangan dan isu SARA yang kini marak dan menimbulkan indikasi aksi yang harus kita hadapi dengan profesional dan tangguh,” sambung Kapolri.

Oleh karena itu, untuk menghadapi hal-hal ini, Kapolri menyampaikan beberapa pesannya, termasuk menindak teroris dengan sigap. “Brimob dituntut siap mental dan raga untuk merespons cepat, untuk menanggulangi. Korps Brimob harus lebih humanis untuk menjaga keamanan lebih kondusif,” ujar Timur.

Resolusi Jihad, Penyemangat Membela Tanah Air

Minggu, 11 November 2012 | 0 komentar


Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, namun penjajah tetap saja merongrong kemerdekaan itu. Misalnya pada 26 Oktober 1945, tentara Inggris dan pasukan sewaannya kembali merongrong kedaulatan Indonesia di Surabaya.

Hal tersebut membuat para pejuang kemerdekaan dan masyarakat Indonesia kembali menggelorakan semangat perlawanan untuk melawan tentara penjajah tersebut. Akhirnya letusan perang terjadi karena upaya pasukan Inggris yang hendak mengambil kekuasaan nusantara setelah pendudukan Jepang runtuh.

Peristiwa di akhir Oktober hingga paruh awal November 1945, merupakan babak penting dalam sejarah pergolakan revolusi kemerdekaan Indonesia. Bentrokan yang melibatkan massa dalam jumlah besar terjadi di Surabaya pada 27, 28, 29 Oktober 1945. Bentrokan ini melibatkan pasukan Hizbullah, Sabilillah, dan pasukan lain melawan pasukan Inggris.

Bentrokan massa bersenjata akhirnya memuncak pada 10 November 1945. Sedikitnya 2000 pasukan terlatih Inggris tewas berikut Brigjend AWS. Mallaby, Komandan Pasukan Inggris. Banyaknya korban di pihak Inggris sebagai pasukan terlatih, membuat Inggris kehilangan muka di kalangan militer internasional. Hari dimana pertempuran sengit tersebut terjadi kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional RI, 10 November 1945. Tidak sedikit sejarawan yang mengatakan geliat perlawanan terhadap penjajah pada saat itu terinspirasi dan termotivasi dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama (NU).

Resolusi Jihad fi Sabilillah, sebuah putusan berisi sikap NU dalam mempertahankan NKRI yang baru dua bulan diproklamasikan dari penjajahan bangsa asing. Putusan Resolusi Jihad dirancang oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah 21 Oktober dan dibacakan oleh KH. Hasyim Asyari, Rois Akbar NU pada 22 Oktober 1945, hampir tiga minggu sebelum peristiwa Surabaya.

Menurut Mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Bondan Gunawan mengatakan, peran NU pada aksi perlawanan di Surabaya pada November 1945 sangat besar.

Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari saat itu dan disebarkan kepada para pejuang di Surabaya adalah penyemangat terbesar perlawanan. Hal tersebut diungkapkan Bondan di acara Talk Show menyambut Hari Pahlawan yang digelar GP Ansor di Surabaya, Kamis, 8/11/2012.

Menurut Bondan, Islam bertindak tegas dan keras dalam konteks melawan penindasan. “Islam itu keras dalam melawan penindasan. Tapi bukan keras membunuhi orang lain,” kata dia, seperti dikutip NU Online, 9/11/2012.

Peran NU lainnya terhadap pembangunan Indonesia, lanjut Bondan, yaitu saat awal-awal pembentukan negara. Ketika negara baru dibentuk, timbul perdebatan soal penetapan syariat Islam yang mulanya dimasukkan dalam butir Pancasila.

“KH Wahid Hasyim saat itu yang menyetujui agar tujuh kosa kata itu dihapus. Ini membuktikan betapa visionernya ulama NU dalam memandang bangsa yang dibentuk dari beda-beda suku dan darah ini,” ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Riadi Ngasiran. Menurut dia, berkat  lahirnya Resolusi Jihad yang dirumuskan NU, rakyat di seluruh lapisan, dan tentara memperoleh dukungan moral yang luar biasa melawan para penjajah.

“Bung Tomo selaku ketua Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), ketika memobilisasi kekuatan rakyat, beliau meminta dukungan spiritual dari Hadlratussyeikh Hasyim Asyari yang saat itu sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama,” tegasnya

Bung Tomo: Jihad Itu Defensif

| 0 komentar


10 November diperingati sebagai hari pahlawan nasional. 67 tahun silam, Surabaya, ibu kota Jawa Timur, berkecamuk pertempuran hebat antara rakyat Jawa Timur dengan pasukan sekutu yang ingin mengkolonisasi Indonesia selepas proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Sutomo, mantan pasukan PETA (Pembela Tanah Air) yang sangat disegani oleh kalangan aktivis pemuda, sejak akhir Oktober hingga pecah pertempuran 10 November terus menerus berorasi melalui Radio Pemancar Pemberontak Rakyat Indonesia. Setiap malam dengan berapi-api ia membakar semangat rakyat Surabaya dan sekitarnya untuk bersatu memertahankan kemerdekaan Indonesia.

Kemarahan rakyat Surabaya dipicu oleh kedatangan tentara Sekutu di Surabaya. Konfrontasi terus terjadi antara tentara sekutu dengan rakyat. Sementara di pihak lain Bung Tomo, yang terus berkonsultasi dengan tokoh-tokoh ulama Jawa Timur, khususnya pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari, mendapatkan legitimasi untuk melakukan perlawanan saat pengurus besar Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945 menelurkan resolusi jihad yang berbunyi;

“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja.”

Pasukan sekutu kian marah saat pemimpin mereka Brigjend Mallaby terbunuh dalam sebuah konfrontasi kecil. Jenderal E.C Mansergh yang menggantikan Mallaby lantas mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945 agar rakyat Surabaya menyerah pada tentara sekutu paling lambat 10 November 1945 pukul 06.00.

Menyikapi ultimatum tersebut, KH Hasyim Asy’ari yang saat itu berada di Surabaya, lantas mengubah isi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi lebih operasional yaitu “Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang  melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..”

Seruan jihad yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari itu dengan cepat menyebar ke berbagai daerah yang berjarak sekitar 94 km dari Surabaya seperti Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, dan bahkan ke daerah yang lebih jauh seperti Probolinggo, Jember, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Rembang, bahkan Cirebon.

Puncaknya, 10 November 1945 pagi, Bung Tomo dengan lantang menyerukan agar rakyat Surabaya tidak menyerah kepada tentara sekutu. Kendati demikian, Bung Tomo yang memahami betul aturan jihad, melarang rakyat Surabaya untuk menyerang lebih dulu. Bung Tomo mengerti betul bahwa karakter jihad dalam Islam adalah defensif.

Berikut petikan pidato Bung Tomo itu:

“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga.

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting! tetapi saya peringatkan sekali lagi jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka itu. Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.

Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! MERDEKA!!! “

Jihad Fi Sabilillah Memertahankan Kemerdekaan

| 0 komentar

Naskah resolusi jihad yang ditelurkan Nahdlatul Ulama

Para pendiri bangsa gelisah. Kemerdekaan yang baru dinikmati seumur jagung terancam. Pasukan sekutu yang diboncengi NICA datang ke bumi pertiwi dan berniat kembali mengkolonisasi Republik Indonesia yang sudah diproklamasikan kemerdekaannya pada Agustus 1945.

Pada Oktober 1945, pasukan sekutu mendarat di Surabaya dengan kapal Inggris Cumberland. “Bagaimana mungkin negara yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, belum memiliki kelengkapan negara termasuk tentara nasional, tiba-tiba harus menghadapi perang?” ujar penulis buku “Resolusi Jihad NU” Gugun El Guyanie saat acara bedah buku yang digelar Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur di Surabaya beberapa waktu lalu.

Tentara Nasional yang baru ditetapkan dalam sidang PPKI ketiga pada 22 Agustus 1945 dalam bentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dari pertimbangan itu, tindakan yang paling logis adalah membangkitkan perjuangan rakyat sipil yang sedang meluap semangatnya untuk mempertahankan Republik ini.

“Maka Presiden RI Soekarno mengirim utusan untuk meminta fatwa kepada Rais Akbar Nahdatul Ulama (NU) dan sekaligus pengasuh Ponpes Tebu Ireng Jombang K.H. Hasyim Asyari. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada K.H. Hasyim Asyari, apakah hukumanya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela Alquran?” ungkap Gugun berkisah.

Untuk menjawab pertanyaan Soekarno itu, Hasyim Asyari memerintah K.H. Wahab Hasbullah untuk menggelar rapat Konsul NU se-Jawa dan Madura di Surabaya pada 23 Oktober 1945.

“Hasyim Asyari dalam pertemuan itu mendeklarasikan `Jihad Fisabilillah` yang dikenal dengan `Resolusi Jihad`,” kata Gugun.

Resolusi Jihad itu menegaskan, kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan dan umat Islam terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Perjuangan tersebut adalah “jihad fi sabilillah” yang menjadi kewajiban bagi umat Muslim.

“Seruan tersebut akhirnya membangkitkan semangat para santri dan rakyat Jawa Timur yang berpuncak pada pertempuran 10 November 1945 yang menjadikan Surabaya banjir darah para pahlawan,” katanya.

Sedikitnya 6.000-16.000 pejuang di Surabaya gugur dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan yang dimulai sejaka 10 November 1945 hingga beberapa minggu kemudian. Oleh pemerintah, pemerintah menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan nasional.

Melalui Resolusi Jihad ini, lanjut Gugun, NU bersama-sama seluruh elemen rakyat bercita-cita membangun negeri menjadi negara merdeka yang demokratis-konstitusional.

Itulah implementasi jihad fi sibilillah yang sesungguhnya, bukan dengan aksi-aksi terorisme mutakhir yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan justru mengancam persatuan NKRI. 

Penanganan Terorisme Butuh Komitmen Bersama

Kamis, 01 November 2012 | 0 komentar


Sejak tahun 2002-2012 tercatat 800 terduga teroris telah ditangkap oleh aparat kepolisian. Bahkan sebagian besar dari mereka telah kembali ke masyarakat. Namun demikian, ancaman terorisme masih jauh dari kata selesai.

Pekan kemarin, Sabtu, 27/10/2012, aparat kepolisian kembali meringkus 11 tersangka teroris yang diduga akan melakukan aksi berutalnya di beberapa tempat. Kelompok ini disinyalir merupakan kelompok baru. Dan yang paling mutakhir, aparat kepolisian juga meringkus tiga orang terduga teroris di Poso, Rabu, 31/10/2012.

Fenomena tersebut merupakan fakta bahwa kelomok teroris terus melakukan regenerasi. Jika dulu para dalang terorisme adalah mantan kombatan di daerah konflik, tapi teroris mutakhir adalah orang-orang yang belajar dari kelompok-kelompok pengajian radikal yang belajar merakit bom dari buku-buku dan internet.

Sasaran aksi mereka juga mulai berubah. Kalau pada awalnya mereka menyasar fasilitas-fasilitas publik dan simbol Barat, saat ini kelompok teroris mulai menyasar aparat kepolisian, seperti yang terjadi di Solo dan Poso. Bahkan, jaringan teroris Ceribon melakukan aksinya di Masjid Az Zikra, Markas Polres Cirebon, pada 2011 lalu.

Karena itu, perlu upaya yang serius untuk menanggulangi aksi berutal kelompok teroris ini. Upaya penanggulangan aksi kejahatan terorisme itu bukan hanya tugas aparat kepolisian, melainkan tugas semua pihak. Dalam konteks ini, ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan ormas keagamaan lainnya harus berperan aktif. Misalnya dengan cara melakukan dialog dan komunikasi intensif antarkelompok keagamaan yang ada.

“Dialog antarkelompok dalam Islam itu penting untuk membuka pintu perdamaian. Kemudian harus diciptakan situasi kondusif untuk mendorong penegakan hukum yang adil,” kata Eko Prasetyo, Direktur Program Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pusham) UII Yogyakarta pada Lazuardi Birru.

Menurut dia, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk meminimalisir potensi terorisme di Tanah Air, antara lain: Pertama, upaya dialog itu harus lebih diprioritaskan. Pemerintah harus bersikap aktif dalam hal ini. Demikian pula dengan Majelis Ulama Indonesia dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan seperti NU, dan Muhammadiyah. Kelompok-kelompok sipil tersebut harus aktif menyapa kelompok-kelompok radikal yang berpotensi melakukan aksi teror.

Kedua, pemerintah harus memberikan proses peradilan kepada terdakwa-terdakwa terorisme secara adil. Hak hukum terdakwa tetap harus dilindungi, misalnya berhak ditemani oleh pengacara.

Ketiga, semua tindakan aparat yang sewenang-wenang seperti intimidasi, apalagi salah tembak itu tetap harus memeroleh proses hukum sebagai pendisiplinan. “Intinya upaya penanganan terorisme tidak bisa hanya dengan cara-cara represif tetapi harus lebih mengedepankan soft approach (pendekatan halus),” pungkasnya.

Banyaknya Ayat Al Qur’an Tentang Pesan Etis Bukti Islam Anti-Kekerasan

| 0 komentar


Aksi-aksi kekerasan yang terjadi di negeri ini masih kerap tertangkap radar media. Berbagai dalih disematkan untuk melegitimasi tindak kekerasan tersebut. Dan yang paling ironis tentu saja adalah aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Agama yang seharusnya membawa kerahmatan seketika bopeng wajahnya akibat tercemar oleh anarkisme, radikalisme dan terorisme.

Setiap agama pasti membawa pesan damai. Terlebih Islam. dari asal katanya saja agama yang dibawa Muhammad ini bermakna “damai”. Menurut Ustad H. Bobby Herwibowo, Lc Nabi Muhammad sendiri sesungguhnya diutus untuk mendidik akhlak manusia sehingga berakhlak karimah.

Tentang pentingnya akhlak dalam Islam, Dr. H. Asep Usman Ismail menyatakan bahwa Islam memiliki tiga pilar. Yang pertama soal keyakinan, aqidah. Pilar yang kedua yaitu syari’ah dan pilar yang terakhir adalah akhlak. Yang menariknya, dari total ayat yang ada di al Qur’an, pilar ketiga yakni akhlak mendapat porsi penjelasan yang lebih banyak dari kedua pilar Islam lainnya.

“Di dalam al Qur’an ternyata kedua pilar ini baru 25% dari pesan al Qur’an. Sebab ayat-ayat tentang syari’ah itu sekitar 550 ayat, ayat-ayat soal keyakinan atau aqidah sekitar 950 ayat. Sementara ayat dalam al Qur’an itu 6.232 ayat. Dari sini tergambar bahwa esensi Islam itu dari akhlak” dedah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

BNPT: radikalisme akar terorisme

| 0 komentar


Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai menyebutkan ideologi radikalisme merupakan akar dari terorisme yang menyebabkan gerakan teror terus tumbuh di masyarakat.

"Ideologi radikalisme ini akar dari terorisme, pemahaman yang sempit mengenai sebuah keyakinan, agama, menciptakan konflik sehingga melakukan teror," katanya dalam acara simulasi latihan deteksi dan investigasi penanggulangan serangan teroris di Bogor, Rabu.

Dalam acara di Penyimpanan dan Pengolahan Air minum PDAM Tirta Pakuan, Cipaku, Kota Bogor itu Mbai mengatakan, terorisme masih ada dan aktif serta masih menjadi ancaman bagi negara.

Kelompok teroris pun cukup banyak. Karakteristik teroris semakin berani, polisi ikut menjadi sasaran. 

Menurut Mbai, upaya pencegahan teroris harus terus dilakukan secara simultan dengan melibatkan semua pihak.

"Peran masyarakat banyak diperlukan. Masyarakat diingatkan untuk tidak terpengaruh dengan idiologi radikal, pemahaman agama harus diperluas. Masyarakat harus berperan dalam mencegah masuknya pemahaman radikal," katanya.

Mbai mengatakan, ancaman teroris masih akan terus ada. Upaya perekrutan pada kaum muda terus dilakukan. 

"Semua pihak berperan, masyarakat harus bisa mendeteksi dini upaya perekrutan ini. Terorisme di latar belakangi ideologoi radikal, pemahaman sempit terhadap ajaran agama. Kita harus berperan disitu," katanya.

Mbai menyebutkan, peran pemerintah, masyarakat, untuk tidak membesarkan paham radikal harus dilakukan secara simultan.

"Rantai teroris bisa dicegah. Kompor-kompor (radikalisme) yang harus dipadamkan," katanya.

Serangan teroris, lanjut Mbai, tidak dapat dipastikan, kapan, dimana dan dengan cara apa. Meskipun deteksi dan kegiatan intelijen lainnya tetap dilakukan, namun serangan teroris dapat terjadi setiap waktu dan tempat.

"Karena itu, kesiap-siagaan dalam menghadapi serangan teroris harus terus ditingkatkan melalui berbagai bentuk pelatihan," katanya.

Mbai menambahkan, tidak ada opsi selain kesiap-siagaan kalau tidak ingin negara tidak boleh kalah dari teroris.

Simulasi penanggulanga teroris dihadiri sejumlah tamu negara di antaranya perwakilan Polisi Australia, Canada, Thailand, dan Philipina. 

Sumber: antaranews

Unej akui terduga teroris Bogor mantan mahasiswanya

| 0 komentar


Pimpinan Universitas Jember mengakui terduga teroris bernama Miko Yosiko yang ditangkap tim Densus 88 di Bogor pernah kuliah di kampus itu.

"Memang benar Miko adalah mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Unej angkatan tahun 1998, namun dia tidak melanjutkan kuliahnya hingga selesai," kata Kepala Humas dan Protokol Unej Rokhani di Jember, Rabu (31/10) malam.

Anggota tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri melakukan penggerebekan sebuah rumah kos dan mengamankan dua orang yang diduga teroris di Jalan Raya Ciapus, Kampung Cikaret RT 1/RW 2, Kelurahan Cikaret, Kota Bogor, Sabtu (27/10). 

Kedua orang yang diamankan terdiri seorang laki-laki yang diketahui bernama Miko Yosiko dan seorang perempuan yang mengenakan cadar bernama Rubiah yang diketahui adalah istri Miko.

Menurut Rokhani, Miko sering mengajukan cuti dan tidak aktif kuliah beberapa kali selama mengenyam pendidikan di Unej sejak tahun 1999 hingga 2004, kemudian mahasiswa itu dinyatakan keluar dari FTP Unej pada tahun 2005.

"Dalam catatan akademis FTP Unej, Miko dinyatakan sebagai mahasiswa DO (Drop Out) dengan IPK terakhir 2,56 dan hanya menempuh 146 SKS pada semester ganjil tahun ajaran 2004-2005," katanya.

Pihak Unej, lanjut dia, menyayangkan tindakan yang dilakukan Miko sebagai terduga teroris karena perguruan tinggi negeri yang dikenal dengan Kampus Tegalboto itu tidak pernah mengajarkan mata kuliah kekerasan.

"Kami tidak tahu aktivitas Miko ikut organisasi apa di luar kuliah karena kami sulit memantau aktivitas atau kegiatan mahasiswa di luar jadwal kuliah," paparnya.

Selain Miko, terduga teroris yang ditangkap tim Densus 88 di Madiun yakni Agus Anton Figian juga alumnus Unej dari Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yang lulus tahun 2004.
 
© Copyright 2010-2011 TANAH KHATULISTIWA All Rights Reserved.
Template Design by Purjianto | Published by script blogger | Powered by Blogger.com.