Kalimantan Barat (Kal-Bar) merupakan salah satu provinsi yang ada di Pulau Kalimantan. Kal-Bar terletak pada koordinat 3º 20′ LS – 2º 30′ LU 107º 40′ – 114º 30′ BT Daerah Kalimantan Barat dihuni oleh Penduduk Asli Dayak dan kaum pendatang lainnya dari Sumatra dan kaum urban dari tiongkok dan daerah di Indonesia lainnya. Suku Bangsa yang Dominan Besar yaitu Dayak ,Melayu dan Tionghoa, yang jumlahnya melebihi 90% penduduk Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat juga suku-suku bangsa lain, antara lain Bugis, Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak, dan lain-lain yang jumlahnya dibawah 10%. Dari berbagai suku ini tentunya masing-masing memiliki adat istiadat yang berbeda-beda sehingga masing-masing suku mempunyai cara pandang kehidupan yang berbeda pula dalam aspek sosial budaya. Dari pemahaman penulis, sosial dapat berarti kemasyarakatan sedangkan budaya dapat berarti cara hidup yang dianut dalam masyarakat. Sehingga dalam paper kali ini, penulis akan membahas potensi disintegrasi yang di dasarkan pada kehidupan sosial dan budaya masyarakat, khususnya masyarakat yang ada di Kal-Bar. Kal-Bar dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki masyarakat yang majemuk karena masyarakatnya yang multikultural. Pada dasarnya suatu masyarakat dikatakan multikultural jika dalam masyarakat tersebut memiliki keanekaragaman dan perbedaan. Keragaman dan perbedaan yang dimaksud antara lain, keragaman struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai yang berbeda-beda, keragaman ras, suku, dan agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti warna kulit, rambut, raut muka, postur tubuh, dan lain-lain, serta keragaman kelompok sosial dalam masyarakat. Sehingga masyarakat multikultural dapat dikatakan sebagai pola hidup dalam bermasyarakat yang menempati suatu wilayah yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dalam kesederajatan. Pada hakikatnya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai struktur sosial dan budaya yang berbeda-beda. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antar individu di masyarakat berusaha untuk toleransi dan harus menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai satu sama lain dengan perbedaan yang melekat pada tiap etnisitas sosial dan budayanya. Namun kemajemukan masyarakat yang multikultural ini sangat mungkin terjadinya konflik vertikal dan horizontal yang dapat menghancurkan masyarakat tersebut. Konflik vertical dapat berarti hubungan interaksi antara suatu kelas sosial yang berbeda tingkatan akibat adanya pertentangan kepentingan ataupun kelompok sosial yang berbeda di satu pihak dengan satu kelompok di pihak lainnya. Sedangkan konflik horizontal berarti hubungan interaksi antar kelas sosial yang secara sengaja menciptakan konflik sebagai kamuflase atau cara untuk mendukung terwujudnya tujuan atau kondisi yang dikehendaki oleh beberapa pihak tertentu. Kemajemukan masyarakat yang terjadi di Kal-Bar tanpa disertai rasa toleransi dan saling menghargai antar sesama masyarakat tentunya akan menimbulkan bahaya laten yang sewaktu – waktu dapat menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat. Satu diantara berbagai potensi penyebab bahaya laten yang terjadi di Kal-Bar yaitu perbedaan sosial budaya dalam masyarakat. Berbedanya cara interaksi sosial, cara pemahaman atas suatu kebudayaan masyarakat yang di sebabkan berbeda-bedanya budaya dan tingkatan pendidikan dalam masyarakat yang menyebabkan masyarakat itu sendiri susah untuk saling memahami perbedaan itu sendiri. Saat penulis mencoba untuk menilik lebih dalam bagaimana kehidupan sosial dan budaya masyarakat di Kalimantan Barat, maka penulis mencoba melihat bagaimana kehidupan sosial dan budaya penduduk asli Kal-Bar, yaitu suku Dayak dan Melayu. Ada pepatah suku Dayak di Kal-Bar berbunyi “Tamu diberi makan, Melayu diberi beras”. Itu artinya masyarakat Dayak sangat menghargai perbedaan sehingga jika sesama Dayak yang bertamu diberi makanan yang sama dengannya, jika Melayu (identik Islam) yang bertamu akan diberi beras supaya masak sendiri dan nanti dimakan bersama. Dan ada juga pepatah suku Melayu di Kal-Bar berbunyi “Awak datang Kame’ sambot” yang artinya siapapun yang datang untuk bertamu ataupun menetap di daerah warga Melayu akan di sambut baik oleh seluruh warga. Mungkin pepatah ini dapat sedikit menggambarkan keramahan penduduk asli Kal-Bar dalam penyambutan mereka terhadap orang yang akan bertamu maupun menetap di daerah mereka. Namun, terkadang ada sebagian dari para penduduk pendatang sering menyalah artikan keramah tamahan dari para penduduk asli. Kondisi sosial budaya yang berbeda-beda ini memang sangat riskan akan timbulnya suatu konflik dalam masyarakat, Di daerah Kal-Bar sudah sering terjadi konflik vertikal maupun horizontal baik berskala besar ataupun berskala kecil. Dan kebanyakan konflik yang terjadi di Kal-Bar selalu melibatkan etnis yang berbeda. Kita coba untuk mundur ke belakang, konflik yang terjadi di Kalimantan Barat khususnya yang melibatkan antar etnis sudah sering terjadi semenjak awal masa kemerdekaan tepatnya sejak komunis (RRC) mulai melebarkan sayap mereka masuk ke daerah-daerah di Kal-Bar. Lalu konflik di susul antara etnis Dayak dengan etnis Madura hingga akhirnya melibatkan etnis Melayu Sambas dan Pontianak ke dalam pertikaian berdarah antar etnis tersebut. Dilihat dari kurun waktu terjadinya konflik, konflik yang melibatkan etnis di Kal-Bar dapat dikatakan sebagai bahaya yang bersifat laten, khususnya daerah-daerah tempat terpusatnya konflik. Sehingga bagi warga yang tinggal di wilayah konflik terjadi hingga saat ini masih belum bisa menerima pendatang, khususnya dari warga Madura. Hal ini di karenakan warga daerah konflik masih trauma akan kembali munculnya pertikaian berdarah yang memalukan bagi warga Bumi Borne. Dikarenakan masih rentannya konflik kembali muncul maka warga dari daerah konflik terjadi menyepakati bersama untuk menolak kembalinya warga Madura agar pertikaian dapat dihindari. Konflik berbau etnis ini memang tampaknya masih belum bisa hilang dari Kal-Bar, ini terlihat dari peristiwa yang baru-baru terjadi di salah satu daerah di Kal-Bar. Peristiwa yang terjadi pada Mei 2010 ini di picu oleh keberadaa Tugu Naga dan makalah salah satu Walikota yang membahas mengenai Sekilas Melayu, Asal Usul dan Sejarahnya dianggap menghina kelompok tertentu. Masalah ini sempat membuat suasana kota menjadi mencekam selama beberapa hari, untungnya permasalahan ini dapat cepat diredam oleh para tokoh adat dan Walikota itu sendiri. Dari hal inilah penciptaan interaksi sosial yang baik di antara masyarakat dan saling memahami budaya masing-masing masyarakat akan dapat menghilangkan potensi munculnya konflik. Konflik yang terjadi di Kal-Bar dapat dicegah dan diminimalisir, apabila pemerintah mau mengambil langkah tepat dalam pengambilan kebijakan. Untuk permasalahan yang sering terjadi di Kal-Bar lebih terarah pada kebijakan transmigrasi yang di terapkan oleh Pemerintah. Ada baiknya pemerintah lebih mengutamakan kebijakan transmigrasi dengan pola transmigrasi sisipan, dari pada pola transmigrasi mengelompok. Transmigrasi sisipan terbukti lebih baik saat di terapkan di beberapa daerah, warga transmigrasi sisipan dapat lebih cepat berinteraksi dengan penduduk tujuan transmigrasi. Sedangkan pola transmigrasi mengelompok dapat menyebabkan perasaan pengkhususan diri dari kelompok transmigran tersebut di karenakan mereka tinggal secara satu kelompok daerah asal sehingga pola hubungan sosial, budaya, dan bahasa yang digunakan masih membawa asal daerah mereka. Sehingga interaksi sosial antara warga transmigran dan penduduk asli dapat terhambat dan sering menyebabkan diskomunikasi yang akan menyebabkan konflik. Selain permasalahan transmigrasi, keadilan sosial juga sebaiknya lebih diutamakan. Karena masyarakat sering merasa iri terhadap pelayanan sosial lebih baik yang diberikan kepada kelompok tertentu. Dan Pemerintah mau untuk membangun pendidikan masyarakat Kal-Bar baik masyarakat asli maupun pendatang dapat lebih ditingkatkan, agar masyarakat dapat saling memahami kebudayaan dan adat isitiadat masing-masing kelompok sehingga dapat memperlancar interaksi sosial agar dapat mencegah timbulnya benih-benih konflik dan membuat Bumi Khatulistiwa menjadi daerah yang aman dan tentram bagi seluruh masyarakat Kal-Bar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar