“Demokrasi akan tumbuh dengan baik tanpa
adanya radikalisme,” kata Guru Besar Fisipol UGM, Muhadjir Muhammad Darwin
dalam diskusi 'anti radikalisme dan prospek demokrasi di Indonesia' di UGM,
Yogyakarta,
Muhadjir Darwin menambahkan, radikalisme
harus dilawan dengan radikalisme pula. Dalam hal ini negara terutama aparat
penegak hukum seperti kepolisian memiliki peran dan tanggungjawab dalam melawan
radikalisme tersebut. Sikap radikalisme negara yang dimaksud seperti radikal
dalam penegakan hukum.
“Disini negara yang punya tanggungjawab untuk
melawan radikalisme seperti dalam penegakkan hukum. Selain itu janganlah negara
berada pada posisi yang gamang dan terjebak pada mitos toleran dengan praktek
radikalisme yang mengedepankan kekerasan,” imbuh Muhadjir.
Selain negara yang harus radikal melawan
radikalisme, imbuh Muhadjir, masyarakat sipil yang tidak mendukung praktek
radikalisme sudah saatnya untuk menggalang kekuatan dan bersuara.
Muhadjir yang juga Kepala Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM ini melihat negara terjebak hanya sekedar
menjaga citra dan popularitas dengan sikapnya yang gamang dan toleran dengan
praktek radikalisme tersebut.
Untuk mencapai demokratisasi yang diinginkan
maka negara harus selalu proaktif menegakkan prinsip-prinsip demokrasi seperti
equality (persamaan), liberty (kebebasan), dan fraternity (persaudaraan).
“Negara harus menjamin, menghargai,
melindungi serta memfasilitasi penggunaan hak-hak setiap individu,”tegasnya.
Sementara itu, Mark Woodward dari Arizona State
University dalam diskusi tersebut mengatakan, sebagai sebuah ideologi,
radikalisme sangat memungkinkan tumbuh dimana saja, termasuk agama. Bahkan, di
dalam agama yang sama sekalipun sangat mungkin muncul aliran yang berbeda.
“Sama agamanya tapi bisa berbeda alirannya. Ada yang mendukung
pluralisme tapi ada pula yang cenderung radikal atau fundamentalis,” kata Mark.
0 komentar:
Posting Komentar