Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........Damai Itu Indah..........

Teroris Poso Terus Mencari Kader

Rabu, 26 Desember 2012 | 0 komentar


Pengamat Intelejen Wawan Purwanto memprediksi, Daftar Pencarian Orang (DPO) nomor satu di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), Santoso akan terus memperkuat kelompoknya dengan merekrut orang baru untuk melakukan aksi teror.

Menurut Wawan, DPO tersebut tidak akan berhenti dengan kelompok yang ada saat ini. Terlebih dia menduga Santoso adalah dalang di balik penyerang yang menewaskan tiga anggota Brimob beberapa waktu lalu.

“Dia tidak akan tinggal diam, Santoso akan terus merekrut orang-orang baru untuk dia ajak dalam melakukan aksi,” jelas Wawan saat dihubungi Sindonews, Senin (24/12/2012).

Wawan menjelaskan, dia butuh penanganan khusus dari Polri untuk mengentaskan kasus tersebut, salah satunya ialah dengan berkoordinasi dan meminta bantuan dari aparat TNI.

“Perlu penanganan khusus untuk tidak teroris ini dan yang ada di Poso,” ucapnya.

Menurutnya, dengan tambahan personel dari TNI, maka tugas polisi sebaga penjaga keamanan akan terbantu dengan kemampuan TNI yang biasa terlatih untuk proses peperangan.

“Maka ada juga back up dari TNI untuk bisa mendukung dan mereka sudah biasa bertempur dan Polri sudah melatih keamanan dan kemananan, jadi keduanya biasa saling sinergi untuk menyelesaikan kasus ini,” tukasnya.

Menilik Toleransi Antarumat Beragama melalui Tata Kota

| 0 komentar


Dalam kehidupan berbangsa yang diisi dengan berbagai macam perbedan sebagaimana di Indonesia, pola laku toleransi menjadi hal yang tidak bisa diabasikan. Dengan toleransi, kehidupan yang damai dalam sebuah perbedaan menjadi mungkin. Sebaliknya tanpa toleransi, ketegangan antar-kompenen bangsa akan menegang dan konflik yang dapat bermuara pada perpecahan nantinya menjadi keniscayaan.

Maka menjadi kewajiban bagi segenap warga negara untuk mendisseminasikan toleransi ke seluruh penjuru nusantara. Begitu banyak kawasan di Indonesia yang bisa dikatakan patut menjadi teladan dalam kehidupan yang bertoleransi. Salah satunya adalah di Kabupaten Bangka Barat yang tercerminkan pada tata kotanya.

Adalah di sudut kota Muntok, tepatnya di Kampung Tanjung, Kecamatan Muntok, toleransi antarumat beragama itu tampak.

“Yang menarik di sini adalah, Kelenteng Kong Fuk Miau dibangun tepat bersebelahan dengan masjid tertua di Bangka Barat, Masjid Jami,” kata penjaga kelenteng, So Chin Siong di Muntok.

So Chin Siong mengatakan, Kelenteng Kong Fuk Miau dan Masjid Jami telah berdiri berdampingan lebih dari 130 tahun. “Dan selama itulah kami saling mendukung, namun tidak mencampuri urusan keagamaan masing-masing,” kata So Chin Siong.

Dikatakan So Chin Siong, jika Masjid Jami sedang melaksanakan ibadah, maka Kelenteng akan rehat dari kegiatannya dan memberikan kesempatan bagi jemaah masjid untuk melakukan ibaadah.

“Biasanya yang sering bentrok adalah kegiatan latihan Barongsai dan shalat Jumat, jadi setiap jadwal shalat, kami rehat dulu,” katanya.

Kelenteng Kong Fuk Miau dibangun oleh orang-orang China dari suku Kuantang dan Fu Kien yang telah lama menetap di Muntok sejak 1820, membuatnya menjadi kelenteng pertama di Muntok.

Kompleks Kelenteng terdiri dari tiga buah bangunan dengan bangunan utama berada di tengah. Bangunan utama memiliki atap berbentuk pelana, sedangkan komponen lain adalah gapura utama, pagar keliling, halaman, pagoda dan arca Singa. Setiap pagi dan sore hari pada pukul lima, So Chin Siong, sang penjaga kelenteng akan memukul bedug sebanyak 36 kali.

Awas, Kini Teroris Lebih Berbaur dengan Masyarakat

| 0 komentar


Beberapa hari terakhir kondisi Poso kembali dihubungkan dengan berbagai macam peristiwa terorisme. Meskipun keadaan belum mencapai level gawat, namun tetap saja hal ini patut diwaspadai bersama, baik pemerintah dan masyarakat, mengingat sebagaimana diketahui Poso memiliki sejarah konflik berdarah yang mencederai kehidupan seluruh warga Indonesia.

Terlebih lagi menurut Kapolri Jenderal Timur Pradopo para terduga teroris sekarang ini sengaja membaurkan diri dengan masyarakat setempat. Suatu strategi yang sangat membahayakan, karena bisa-bisa masyarakat terprovokasi oleh musuh dalam selimut ini untuk melakukan aksi terorisme.

Keadaan itu membuat aparat keamanan memutar otak untuk menangkal strategi para teroris tersebut. Polisi sangat berharap masyarakat dapat memilah mana yang baik dan membahayakan bagi kehidupan masyarakat.

“Agar masyarakat bisa memisahkan, memilahkan yang harus ditindak secara hukum bukan melindungi. Karena itu merugikan orang lain,” kata Wakapolri, Komjen Pol Nanan Sukarna menambahkan.

Terakhir, tepat di hari natal ditemukan bom dalam bentuk laptop di Pos terpadu Polisi Depan Pasar Sentral Poso. Beruntung bom tersebut berhasil diledakan tim Jibom Gegana. Dari laptop tersebut positif detonator dan timer dengan waktu ledak pukul 18.00 WIT. 

TNI Perlu Dilibatkan Memberantas Teroris

| 1 komentar


Hingga saat ini keberadaan dan sepak terjang pelaku aksi teror di Indonesia dinilai sudah mengkhawatirkan. Tentara Negara Indonesia (TNI) pun dinilai perlu terlibat dalam pemberantasan terorisme.

“Jadi perlu adanya undang-undang yang mengatur peran TNI dalam menangulangi terorisme,” kata anggota Komisi I DPR RI Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, Rabu (26/12/2012).

Ia mengatakan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme bersama kepolisian memang tidak semua pihak setuju. Namun paling tidak, kata dia TNI dan kepolisian dapat bekerja sama mengefektifkan pemberantasan terorisme.

Pengamat terorisme Mardigu Wowiek Prasantyo, mengatakan pentingnya kerjasama antara TNI dan kepolisian dalam pemberantasan terorisme. Menurutnya terorisme termasuk kejahatan luar biasa karena itu penanganannya juga perlu yang luar biasa.

“Kepolisian dapat bekerjasama pasukan Den-81 alias Detasemen Penanggulangan Teror (Gultor) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dalam mengatasi gerakan teroris, seperti di Poso. Kita tahu bahwa pasukan Den-81 itu lengkap dan mengenal medan, berbeda dengan polisi. Lagi pula ini kan extra crime, jadi perlu penanganan ekstra juga,” ujarnya.

Radikalisme Merusak Islam dan Indonesia

| 0 komentar


Radikalisme dalam bentuk teror merusak nama Islam dan Indonesia di mata dunia internasional. Karena itu, tidak ada gunanya melakukan teror, baik di Natal dan Tahun Baru saat ini atau di waktu lain.

Pernyataan tersebut ditegaskan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siraj. Menurut KH Said di tengah perayaan Natal dan Tahun Baru 2013 penting menjalankan prinsip toleransi.

“Radikalisme, terutama dalam bentuk aksi teror, dapat merusak citra Indonesia yang sudah sejak lama dikenal sebagai bangsa yang plural, namun tetap dapat hidup berdampingan dengan baik. Indonesia di mata internasional dikenal sebagai bangsa yang bisa menerapkan toleransi dengan baik. Aksi-aksi radikalisme, terorisme, atau yang sejenisnya, akan menjadikan nama Indonesia rusak,” tegas Kiai Said, Selasa (25/12/2012).

Kiai Said meminta kepolisian dan TNI untuk saling bersinergi menjalankan tugasnya dengan baik. Masyarakat pun diminta ikut berpartisipasi menciptakan keamanan, melalui perilaku yang tidak memancing timbulnya kerawanan.

“Terciptanya keamanan tugas kita bersama, termasuk masyarakat sipil yang tidak bergabung di ormas juga harus bisa menciptakan rasa aman,” kata Kiai Said.

Hanya Orang Bodoh yang Mau Jadi Martir Bom

Minggu, 16 Desember 2012 | 0 komentar


Pemilihan diksi atau istilah-istilah yang melekat pada terorisme dalam peliputan media kerap memberi dampak yang sangat fatal terhadap pemahaman generasi muda. Misalnya, media mengutip statemen bahwa para pelaku bom bunuh diri adalah mujahid. Tentu secara tidak sadar, publik mengasumsikan Nurdin M Top dan Imam Samudra mujahid, padahal di dalam Islam yang disebut mujahid adalah orang yang paling mulia karena membela agama, bukan orang yang melakukan pengeboman atau bom bunuh diri.

“Menyebut para pelaku pengeboman itu dengan sebutan mujahid, seolah-olah mereka telah dibenarkan sebagai seorang mujahid,” kata Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) Nasir Abas pada Lazuarsi Birru.

Efek informasi seperti ini (pemilihan diksi, red), kata Nasir, ketika generasi muda ketemu dengan para pelaku bom, mereka beranggapan bahwa inilah mujahid seperti yang dibilang oleh media tertentu. Itu sebabnya para teroris selalu mendapat bantuan.

Menurut dia, terorisme tidak akan pernah eksis tanpa bantuan dari pihak lain, baik secara langsung ataupun tidak langsung. “Nurdin itu warga Malaysia yang tidak mengenal Indonesia, yang tidak mengerti daerah-daerah Indonesia. Kalau tanpa ada pendukung yang membantu dan membelanya, tidak mungkin terjadi,” ungkapnya.

Mantan anggota Jamaah Islamiyah ini mengatakan, istilah bom bunuh diri sebenarnya juga membuat para pelaku bangga. Karena ada kesan sebagai seorang pemberani. Seharusnya, lanjut Nasir, yang pantas adalah bom manusia. “Kalau kita mengatakan bom yang dipasang di mobil bom mobil, bom yang dipasang dibuku adalah bom buku. Mengapa kita tidak menyebut bom yang dipasang di manusia dengan sebutan bom manusia?” demikian Nasir menjelaskan.

Sebab menurut Nasir, dengan menyebut bom manusia, ada kesan mereka dikorbankan oleh temannya sendiri yang menjadi wadah dari bom itu. Kesan ini harus dibentuk dalam pemahaman masyarakat dan publik. Disinilah peran media mewacanakan dan mengampanyakan istilah bom manusia itu, agar masyarakat atau remaja memahami bahwa bom bunuh diri itu dikorbankan, hanya dijadikan wadah dan alat.

“Seharusnya pertanyaannya bukan kenapa mereka berani menjadi bom bunuh diri, tapi kenapa mereka begitu bodoh menjadi wadah bom? Padahal teknis untuk meledakkan itu banyak cara tidak harus meledakkan tubuh orang,” kata dia.

Remaja Harus Steril dari Pengaruh Terorisme

| 0 komentar

Ka BNPT

Tindak pidana terorisme di Indonesia kian marak, ironisnya para pelaku tindakan keji tersebut didominasi remaja. Misalnya yang paling anyar adalah kasus Farhan Cs, pelaku teror di Solo pada Agustus 2012 yang lalu. Bahkan jauh sebelumnya, banyak remaja yang menjadi pelaku bom bunuh diri, seperti kasus yang dialami Dani Dwi Permana.

Kejadian ini merupakan bukti bahwa para pelaku teror sedang memakai modus baru, yakni merekrut anak-anak muda untuk dijadikan pelaku teror, bahkan bom bunuh diri. Kelompok teror menyasar remaja, karena masa remaja merupakan masa yang rentan, tanpa banyak pertimbangan, sehingga mudah dipengaruhi dan didoktrin.

Bahkan kelompok teror ini, tidak tanggung-tanggung mendoktrin para remaja dengan mengganti kata “teror” dengan kata “jihad”. Mereka mengatakan pada para remaja bahwa yang mereka lakukan bukanlah teror melainkan jihad. Berhati-hatilah dengan mudus operandi terorisme dalam melakukan rekrutmen seperti ini, khususnya para remaja yang masih labil, belum bisa mengorientasikan masa depannya.

Karena itu, agar tidak mudah terpengaruh dengan doktrin tersebut, maka remaja harus kritis terhadap input pengetahuan yang diterima, baik secara langsung lewat orang, maupun lewat buku bacaan, internet, dan selebaran.

I’dad Tak Harus dengan Latihan Perang

| 0 komentar

Miftah Faqih, Sekretaris Jenderal Robithoh Ma’ahid Islamiyah 

Penemuan lahan pelatihan teror di pegunungan Koronjobu, Tambarana, Poso, Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa kelompok radikal masih sangat aktif bergerak memersiapkan aksi. Lebih dari itu, tidak ada perubahan pemahaman di kalangan mereka mengenai perintah i’dad.

I’dad berarti persiapan. Dalam Alquran surat Al Anfal: 60, Allah memerintahkan umat Islam untuk bersiap menghadapi kaum kafir dengan “kekuatan” yang dimiliki umat. Ayat ini dikuatkan dengan hadis Nabi riwayat Muslim bahwa “kekuatan” itu adalah melempar (menembak).

Atas dasar itu, kelompok radikal yang berfantasi bahwa mereka sedang dijajah oleh pemerintah NKRI yang dianggap thaghut wajib menyiapkan diri (i’dad), agar suatu saat dapat melakukan perlawanan terhadap pemerintah dan lantas mendirikan Negara Islam. Implementasinya adalah dengan pelatihan militer seperti di Bukit Jalin Jantho Aceh yang terbongkar oleh polisi pada tahun 2010 dan penemuan lahan pelatihan teror di Poso Rabu (12/12/2012).

“Itu penafsiran yang ketinggalan zaman. Ayat dan hadis itu turun dalam situasi Nabi Muhammad Saw dan umat Islam sedang berperang dengan kelompok kafir. Sekarang Indonesia tidak sedang berperang dengan Negara mana pun. Kita memang diserbu oleh sistem ekonomi dan kebudayaan asing, tapi jika lantas membalasnya dengan teror bom, ya itu namanya orang frustasi,” demikian ungkap Miftah Faqih, Sekretaris Jenderal Robithoh Ma’ahid Islamiyah (Badan Otonom di bawah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang membidangi urusan Pondok Pesantren), kepada Lazuardi Birru, menanggapi implementasi i’dad dengan pelatihan militer.               

Dalam hemat Miftah, arti dasar kata i’dad adalah membangun persiapan diri. Dalam konteks kekinian, i’dad tidak harus dimaknai dengan pengandaian ada musuh fisik yang mengancam, tetapi lebih tepat dimaknai sebagai tantangan zaman.

“Maka pelaksanaan i’dad sekarang adalah dengan menyiapkan diri untuk bisa berkompetisi di era globalisasi. Bagaimana pemuda bisa menghadapi arus global tanpa kehilangan jatidiri dan karakter sebagai muslim Indonesia,” tandasnya.

Dalam kontek pondok pesantren, lanjut Miftah, i’dad adalah bagaimana para santri membekali diri dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh zamannya.

“Maka di pesantren sekurangnya ada 3 kurikulum wajib, yaitu kurikulum lokal pesantren di mana santri wajib menggali khazanah keilmuan Islam klasik, kemudian ada kurikulum praktis bermasyarakat supaya santri mampu berkiprah di ranah sosial, dan terakhir adalah ‘kurikulum pasar’ untuk membekali santri agar mampu bertahan di dunia luar,” terangnya.

Sementara perihal hadis yang menyatakan bahwa pelaksanaan i’dad tak lain harus dengan senjata, Miftah menegaskan bahwa senjata dalam konteks kekinian adalah seperangkat alat dan keterampilan untuk bisa menghadapi serbuan arus globalisasi.

“Sekarang alat yang dibutuhkan apa? Ya kecanggihan nalar pikir, kecerdasan membaca kebutuhan zaman, dan kemampuan menggunakan instrumen teknologi informasi. Bagi saya kata menembak dalam hadis tidak bisa dimaknai secara tekstual,” tandasnya.

“Ya ketinggalan zaman kalau seperti itu terus. Karena hadis Nabi dimaknai secara tekstual, jadilah muslim Indonesia pada pake jubah. Padahal Abu Jahal juga pakai jubah,” tutup Miftah berkelakar. 

Poso Hendak Dijadikan Arena “Jihad” Lagi?

| 0 komentar

Najib Azcapeneliti gerakan radikal Poso

Penemuan lahan pelatihan teroris di Poso dua hari lalu memicu kekhawatiran bahwa Poso sebagai dipersiapkan sebagai arena “jihad” lagi.

“Saya kira memang ada tanda-tanda yang mengarah ke sana,” ucap Najib Azca, peneliti gerakan radikal Poso, kepada Lazuardi Birru menjawab kemungkinan itu.

Poso, lanjut pengajar FISIP UGM Yogyakarta itu, memang diidentifikasi oleh sejumlah kelompok jihadis sebagai arena jihad yang tepat, lantaran adanya konflik yang masih sering muncul. Hal itu, menurut Najib, bisa menjadi alasan untuk memobilisasi banyak orang, seperti yang terjadi pada 1999-2001, untuk berperang di sana.

“Jika terjadi konflik komunal berbasis agama, maka ada alasan untuk melakukan mobilisasi. Nah, Poso lebih mudah untuk dijadikan sebagai medan kekerasan yang berkepanjangan lantaran secara geografis wilayahnya mendukung,” ungkap Najib yang menulis disertasi mengenai kehidupan eks kombatan konflik Poso dan Ambon.

Kota Poso, sambung dia, dikelilingi oleh kawasan perkebunan dan hutan yang cukup kondusif menjadi basis pertahanan maupun basis ekonomi kelompok teror. “Jadi sepertinya memang gagasan menjadikan Poso sebagai arena jihad itu masih hidup di beberapa kelompok kecil,” ujarnya.

Dari hasil observasinya di Poso, Najib menilai, individu-individu bekas simpatisan Jamaah Islamiyah (JI) masih tinggal di sana. Sebagian dari mereka membangun basis-basis kecil untuk reproduksi gerakan.

“Di sisi lain juga ada kelompok-kelompok sempalan lain yang terpecah dari induknya dulu seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang juga sedang membangun kekuatan. Mereka membangun basis-basis dakwah di beberapa tempat di Poso dan sekitarnya,” ujar Najib.

Namun kabar baiknya, demikian Najib, mayoritas masyarakat Poso sudah tidak ingin lagi kedamaian mereka terenggut oleh konflik. Sehingga beberapa provokasi kelompok teror tidak ditanggapi oleh mereka.

Pusat Antiterorisme Internasional Berdiri di UEA

| 0 komentar


Pusat Antiterorime Internasional, Haedayah, diluncurkan di sela pertemuan tingkat menteri Komite Koordinasi Ketiga dari Global Counter-Terrorism Forum (GCTF) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Jumat (14/12/2012).

Menteri Luar Negeri Marty M Natalegawa yang memimpin delegasi Indonesia dalam pertemuan itu mengatakan, institusi yang berkedudukan di Abu Dhabi tersebut akan menjadi wadah bagi pelatihan, dialog, kerja sama, dan pusat penelitian upaya melawan kekerasan ekstrimisme.

Selain itu, dalam siaran pers Kemenlu, pertemuan itu juga mengadopsi rancangan Rencana Aksi Perlindungan Korban Terorisme dan Praktik-Praktik Terbaik Pencegahan Tindak Penculikan untuk Mendapatkan Tebusan dan Penghindaran Keuntungan bagi Teroris.

Dalam pertemuan tersebut, Marty menyatakan harus ada langkah mengefektifkan sinergi antara Haedayah dengan organisasi regional lainnya untuk membuahkan kerangka kunci penanggulangan terorisme

“Kerja sama antara Pusat Antiterorisme Internasional yang baru didirikan dengan pusat serupa yang memiliki tujuan sama tidak hanya meningkatkan kapasitas masing-masing, tapi juga untuk menjamin sinergi penanggulangan ancaman terorisme,” tuturnya.

Dalam kaitan itu, lanjut Marty, Indonesia mengharapkan terjalinnya kerja sama antara Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation yang berlokasi di Semarang dengan Pusat Antiterorisme Internasional.

Sumber: Media Indonesia
 
© Copyright 2010-2011 TANAH KHATULISTIWA All Rights Reserved.
Template Design by Purjianto | Published by script blogger | Powered by Blogger.com.