|
Miftah Faqih, Sekretaris Jenderal Robithoh Ma’ahid Islamiyah |
Penemuan lahan pelatihan teror di pegunungan Koronjobu, Tambarana, Poso, Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa kelompok radikal masih sangat aktif bergerak memersiapkan aksi. Lebih dari itu, tidak ada perubahan pemahaman di kalangan mereka mengenai perintah i’dad.
I’dad berarti persiapan. Dalam Alquran surat Al Anfal: 60, Allah memerintahkan umat Islam untuk bersiap menghadapi kaum kafir dengan “kekuatan” yang dimiliki umat. Ayat ini dikuatkan dengan hadis Nabi riwayat Muslim bahwa “kekuatan” itu adalah melempar (menembak).
Atas dasar itu, kelompok radikal yang berfantasi bahwa mereka sedang dijajah oleh pemerintah NKRI yang dianggap thaghut wajib menyiapkan diri (i’dad), agar suatu saat dapat melakukan perlawanan terhadap pemerintah dan lantas mendirikan Negara Islam. Implementasinya adalah dengan pelatihan militer seperti di Bukit Jalin Jantho Aceh yang terbongkar oleh polisi pada tahun 2010 dan penemuan lahan pelatihan teror di Poso Rabu (12/12/2012).
“Itu penafsiran yang ketinggalan zaman. Ayat dan hadis itu turun dalam situasi Nabi Muhammad Saw dan umat Islam sedang berperang dengan kelompok kafir. Sekarang Indonesia tidak sedang berperang dengan Negara mana pun. Kita memang diserbu oleh sistem ekonomi dan kebudayaan asing, tapi jika lantas membalasnya dengan teror bom, ya itu namanya orang frustasi,” demikian ungkap Miftah Faqih, Sekretaris Jenderal Robithoh Ma’ahid Islamiyah (Badan Otonom di bawah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang membidangi urusan Pondok Pesantren), kepada Lazuardi Birru, menanggapi implementasi i’dad dengan pelatihan militer.
Dalam hemat Miftah, arti dasar kata i’dad adalah membangun persiapan diri. Dalam konteks kekinian, i’dad tidak harus dimaknai dengan pengandaian ada musuh fisik yang mengancam, tetapi lebih tepat dimaknai sebagai tantangan zaman.
“Maka pelaksanaan i’dad sekarang adalah dengan menyiapkan diri untuk bisa berkompetisi di era globalisasi. Bagaimana pemuda bisa menghadapi arus global tanpa kehilangan jatidiri dan karakter sebagai muslim Indonesia,” tandasnya.
Dalam kontek pondok pesantren, lanjut Miftah, i’dad adalah bagaimana para santri membekali diri dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh zamannya.
“Maka di pesantren sekurangnya ada 3 kurikulum wajib, yaitu kurikulum lokal pesantren di mana santri wajib menggali khazanah keilmuan Islam klasik, kemudian ada kurikulum praktis bermasyarakat supaya santri mampu berkiprah di ranah sosial, dan terakhir adalah ‘kurikulum pasar’ untuk membekali santri agar mampu bertahan di dunia luar,” terangnya.
Sementara perihal hadis yang menyatakan bahwa pelaksanaan i’dad tak lain harus dengan senjata, Miftah menegaskan bahwa senjata dalam konteks kekinian adalah seperangkat alat dan keterampilan untuk bisa menghadapi serbuan arus globalisasi.
“Sekarang alat yang dibutuhkan apa? Ya kecanggihan nalar pikir, kecerdasan membaca kebutuhan zaman, dan kemampuan menggunakan instrumen teknologi informasi. Bagi saya kata menembak dalam hadis tidak bisa dimaknai secara tekstual,” tandasnya.
“Ya ketinggalan zaman kalau seperti itu terus. Karena hadis Nabi dimaknai secara tekstual, jadilah muslim Indonesia pada pake jubah. Padahal Abu Jahal juga pakai jubah,” tutup Miftah berkelakar.